Senin, 27 Januari 2014

BANGSO BATAK TOBA, KETURUNAN ISRAEL YANG HILANG

Bangsa Israel kuno terdiri dari 12 suku. Setelah raja Salomo wafat,
negara Israel pecah menjadi dua bagian. Bagian Selatan terdiri dari
dua suku yaitu Yehuda dan Benjamin yang kemudian dikenal dengan nama
Yehuda, atau dikenal dengan nama Yahudi. Kerajaan Selatan ini
disebut Yehudah, ibukotanya Yerusalem, dan daerahnya dinamai Yudea.
Bagian utara terdiri dari 10 suku, disebut sebagai Kerajaan Israel.

Dalam perjalanan sejarah, 10 suku tersebut kehilangan identitas
kesukuan mereka. Kerajaan utara Israel tidak lama bertahan sebagai
sebuah negara dan hilang dari sejarah. Konon ketika penaklukan
bangsa Assyria, banyak orang Kerajaan Utara Israel yang ditawan dan
dibawa ke sebelah selatan laut Hitam sebagai budak. Sebagian lagi
lari meninggalkan asalnya untuk menghindari perbudakan.

Sementara itu Kerajaan Yehudah tetap exist hingga kedatangan bangsa
Romawi. Setelah pemusnahan Yerusalem pada tahun 70 oleh bala tentara
Romawi yang dipimpin oleh jenderal Titus, orang-orang Yehudah pun
banyak yang meninggalkan negerinya dan menetap di negara lain,
terserak diseluruh dunia.

Jauh sebelum itu, ketika masa pembuangan ke Babilon berakhir dan
orang-orang Yehudah atau disebut Yahudi diijinkan kembali ke
negerinya, dan sepuluh suku Israel dari Kerajaan utara memilih tidak
pulang tetapi meneruskan petualangan kearah Timur. Demikian juga
dengan mereka yang diperbudak di selatan laut Hitam, setelah masa
perbudakan selesai, tidak diketahui kemana mereka pergi melanjutkan
hidup.

Dengan demikian banyak diantara bangsa Israel kuno kemudian
kehilangan identitas mereka sebagai orang Israel. Ada sekelompok
penduduk di daerah Tiongkok barat, diterima sebagai puak Cina,
tetapi secara umum profil wajah mereka agak berbeda dengan penduduk
Cina pada umumnya. Perawakan mereka lebih besar, hidung agak
mancung, namun berkulit kuning dan bermata sipit. Mereka menyembah
Allah yang bernama Yahwe. Sangat mungkin mereka adalah keturunan
sepuluh suku Israel yang hilang yang telah kawin campur dengan
penduduk lokal sehingga kulit dan mata menjadi seperti penduduk asli.
Saya percaya banyak diantara para pembaca yang mengetahui bahwa di
negeri Israel ada sekelompok kecil orang Israel yang berkulit hitam.
Mereka adalah suku Falasha, yang sebelum berimigrasi ke Israel hidup
di Etiopia selama ratusan generasi. Fisik mereka persis seperti
Negro dengan segala spesifikasinya yaitu kulit hitam legam, bibir
tebal, rambut keriting, dll.

Mereka mengklaim diri mereka sebagai keturunan Israel atau disebut
Beta Israel, dan dengan bukti-bukti yang dimiliki, mereka mampu
memenuhi seluruh kriteria yang dituntut oleh Pemerintah Israel yang
merupakan syarat mutlak supaya diakui sebagai Israel perantauan.
Setelah memperoleh pengakuan sebagai keturunan Israel, sebagian dari
mereka kembali ke Tanah Perjanjian sekitar 15 tahun lalu dengan
transportasi yang disediakan oleh Pemerintah Israel. Itulah sebabnya
mengapa ada Israel hitam.

Mereka seperti orang Negro karena intermarriage dengan perempuan-
perempuan lokal sejak kakek moyang mereka pergi ke Ethiopia. Kita
tahu bahwa bahwa Ethiopia adalah salah satu negara yang penduduknya
mayoritas Kristen yang paling tua didunia. Ingat sida-sida yang
dibaptis oleh Filipus dalam Kisah 8:26-40. Bahkan sebelum era
Kekristenan pun sudah ada penganut Yudaisme disana.Walaupun banyak
yang kembali, sebahagian lagi tetap memilih menetap di negeri itu,
dan merekalah yang menjaga dan memelihara Tabut Perjanjian yang
konon ada disana.

Apakah ada diantara para pembaca yang pernah mendengar selentingan
bahwa etnik Bangso Batak Toba, adalah juga keturunan bangsa Israel
kuno yang hilang? Mungkin saja tidak, karena orang-orang Batak Toba
sendiri banyak yang tidak mengetahuinya, kecuali segelintir yang
memberikan perhatian terhadap hal ini.

Menurut kamus umum bahasa Indonesia Batak mempunyai arti (sastra),
adalah petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang,
pergi mengembara. Walaupun demikian orang Batak dikenali dengan
sikap dan tindakannya yang khas, yaitu terbuka, keras dan apa-adanya.
Hosea 19:17: Allahku akan membuang mereka (ISRAEL YANG MURTAD),
sebab mereka tidak mendengar Dia, maka mereka akan MENGEMBARA
diantara bangsa-bangsa.

Mengapa di Sumatera, karena Sumatera adalah salah satu pulau di
Hindia yang berdekatan dengan India. Sumatera juga merupakan salah
satu pulau di Lautan Samudera Hindia.

Bandingkan Yesaya 11:11: Pada waktu Tuhan akan mengangkut pula
tangaNya untuk menebus sisa-sisa umatNya (Bangsa ISRAEL YANG MURTAD)
yang tertinggal di Asyur, dan di Mesir, di Patros, di Ethiopia, dan
di Elam, di Sinear, di Hamat dan
di Pulau-pulau di Laut.

Seperti yang diungkapkan oleh seorang anthropolog dan juga pendeta
dari Belanda, profesor Van Berben, dan diperkuat oleh prof Ihromi,
guru besar di UI (Universitas In 782 donesia), bahwa tradisi etnik
Tapanuli (Batak Toba) sangat mirip dengan tradisi bangsa Israel kuno.
Pendapat itu didasarkan atas alasan yang kuat setelah membandingkan
tradisi orang Tapanuli dengan catatan-catatan tradisi Israel dalam
Alkitab yang terdapat pada sebahagian besar kitab Perjanjian Lama,
dan juga dengan catatan-catatan sejarah budaya lainnya diluar
Alkitab.

Beberapa peneliti dari etnis Tapanuli juga yakin bahwa Batak adalah
keturunan Israel yang sudah lama terpisah dari induk bangsanya, tapi
karena intermarriage dengan penduduk lokal ditempat mana mereka
bermukim membuat orang Batak secara fisik menjadi seperti orang
Melayu.
Seorang Batak Toba, yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Israel
dan menjadi warga negara, berusaha mengumpulkan data-data untuk
pembuktian. Setelah merasa sudah cukup, dia mengajukannya ke
pemerintah Israel yang waktu itu masih dipimpin oleh PM Yitzak Rabin.
Tetapi tenyata data tersebut belum bisa memenuhi seluruh kriteria.
Pemerintah Israel kemudian meminta agar kekurangannya dicari hingga
dapat mencapai 100 persen supaya pengakuan atas etnis Batak sebagai
orang Israel diperantauan dapat diberi. Konon kekurangan itu
terutama terletak pada silsilah yang banyak missing links-nya, dan
menelusuri silsilah itu agar sempurna sama sulitnya dengan menyelam
ke perut bumi.

Peneliti berharap suatu waktu pada masa depan, Pemerintah Israel
bisa saja mengubah kriterianya dengan menjadi lebih lunak dan etnik
Batak diterima sebagai bahagian yang terpisah dari mereka.
Setelah mendengar selentingan itu, saya benar-benar menaruh minat
untuk menyelidiki sejauh mana budaya Bangso Batak Toba dapat memberi
bukti similaritasnya dengan tradisi Israel kuno. Alkitab adalah buku
yang prominent dan sangat layak serta absah sebagai kitab pedoman
untuk mencari data budaya Israel kuno yang menyatu dengan unsur
sejarah dan spiritual.

Beberapa diantara kesamaan tradisi Batak Toba dengan tradisi Israel
kuno adalah sebagai berikut:
1). Pemeliharaan silsilah (Tarombo dan Marga)
Semua orang Tapanuli, terutama laki-laki, dituntut harus mengetahui
garis silsilahnya. Demikian pentingnya silsilah, sehingga siapa yang
tidak mengetahui garis keturunan kakek moyangnya hingga pada dirinya
dianggap na lilu - tidak tahu asal-usul - yang merupakan cacat
kepribadian yang besar.
Bangsa Israel kuno juga memandang silsilah sebagai sesuatu yang
sangat penting. Alkitab, sejak Perjanjian Lama hingga Perjanjian
Baru sangat banyak memuat silsilah, terutama silsilah dari mereka
yang menjadi figur penting, termasuk silsilah Yesus Kristus yang
ditelusuri dari pihak bapak(angkat) Nya Yusuf, yang keturunan Daud
dan pihak ibuNya (Maria).

Catatan:
MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah
(patrilineal) .Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis
keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang ayah
merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang
meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini,
dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.
Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak
sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.

Catatan: Marga dalam kamus Inggris Hassan Shadily dan John Echols
adalah CLAN, yakni Suku, Marga, dan KAUM. Dalam arti yang lain,
Marga bias berarti Warga, dari bahasa India (Sansekerta,
kemungkinannya) . Jadi, kalau ada orang Batak bermarga Tampubolon,
berarti dia berasal dari KAUM TAMPUBOLON. Bandingkan dengan KAUM
LEWI, KAUM YEHUDAH, KAUM SIMEON dan lain-lain.

TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah.
Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila
orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya
Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui
apakah mereka saling “mardongan sabutuha” (semarga) dengan
panggilan “ampara” atau “marhula-hula” dengan
panggilan “lae/tulang” . Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah
ia harus memanggil “Namboru” (adik perempuan
ayah/bibi), “Amangboru/Makela” ,(suami dari adik ayah/Om), “Bapatua/
Amanganggi/ Amanguda” (abang/adik ayah), “Ito/boto” (kakak/adik) ,
PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang
dapat kita jadikan istri, dst.

2). Perkawinan yang ber-pariban
Ada perkawinan antar sepupu yang diijinkan oleh masyarakat Batak,
tapi tidak sembarang hubungan sepupu. Hubungan sepupu yang diijinkan
untuk suami-istri hanya satu bentuk, disebut marpariban. Cukup
report menerangkan hal ini dalam bahasa Indonesia karena bahasa ini
tidak cukup kaya mengakomodasi sebutan hubungan perkerabatan dalam
bahasa Batak. Yang menjadi pariban bagi laki-laki ialah boru ni
tulang atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibu. Sedangkan
yang menjadi pariban bagi seorang gadis ialah anak ni namboru atau
anak laki-laki dari saudara perempuan bapa.
Hanya hubungan sepupu yang seperti itu yang boleh menjadi suami-
isteri. Karena suku Batak penganut patriarch yang murni, ini adalah
perkawinan ulang dari kedua belah pihak yang sebelumnya sudah
terjalin dengan perkawinan.

Mari kita bandingkan dengan Alkitab. Pada kitab Kejadian, Yakub
menikah dengan paribannya, anak perempuan Laban yaitu Lea dan Rahel.
Laban adalah tulang dari Yakub. (Saudara laki-laki dari Ribka, ibu
dari Yakub). Didunia ini sepanjang yang diketahui hanya orang Israel
kuno dan orang Batak yang sekarang memegang tradisi hubungan
perkawinan seperti itu.

3). Pola alam semesta
Orang Batak membagi tiga besar pola alam semesta, yaitu banua
ginjang (alam sorgawi), banua tonga (alam dimensi kita), dan banua
toru (alam maut). Bangsa Israel kuno juga membagi alam dengan pola
yang sama.

4). Kredibilitas
Sebelum terkontaminasi dengan racun-racun pikiran jaman modern,
setiap orang Batak, terutama orang tua, cukup menitipkan sebuah
tempat sirih (salapa atau gajut), ataupun sehelai ulos, sebatang
tongkat, atau apa yang ada pada dirinya sebagai surat jaminan hutang
pada pihak yang mempiutangkan, ataupun jaminan janji pada orang yang
diberi janji. Walaupun nilai ekonomis barang jaminan bisa saja
sangat rendah tetapi barang tsb adalah manifestasi dari martabat
penitip, dan harus menebusnya suatu hari dengan merelealisasikan
pembayaran hutang ataupun janjinya. Budaya Israel kuno juga
demikian. Lihat saja Yehuda yang menitipkan tongkat kepada Tamar
sebagai jaminan janji (Kej. 38).

5). Hierarki dalam pertalian semarga
Dalam budaya Batak, jika seorang perempuan menjadi janda, maka laki-
laki yang paling pantas untuk menikahinya ialah dari garis keturunan
terdekat dari mendiang suaminya. Ini dimaksudkan agar keturunan
perempuan tsb dari suami yang pertama tetap linear dengan garis
keturunan dari suami yang kedua. Misalnya, seorang janda dari
Simanjuntak sepatutnya menikah lagi adik laki -laki mendiang
(bandingkan dengan Rut 1:11).

Jika tidak ada adik laki-laki kandung, sebaiknya menikah dengan
saudara sepupu pertama dari mendiang yang dalam garis silsilah
tergolong adik. Jika tidak ada sepupu pertama, dicari lagi sepupu
kedua. Demikian seterusnya urut-urutannya. Hal semacam ini
diringkaskan dalam ungkapan orang Batak : “Mardakka do salohot,
marnata do na sumolhot. Marbona do sakkalan, marnampuna do ugasan”.
Dalam tradisi Israel kuno, kita dapat membaca kisah janda Rut dan
Boas. Boas masih satu marga dengan mendiang suami Rut, Kilyon. Boas
ingin menikahi Rut, tapi ditinjau dari kedekatannya menurut garis
silsilah, Boas bukan pihak yang paling berhak. Oleh sebab itu dia
mengumpulkan semua kerabat yang paling dekat dari mendiang suami
Rut, dan mengutarakan maksudnya. Dia akan mengurungkan niatnya jika
ada salah satu diantara mereka yang mau menggunakan hak adat-nya,
mulai dari pihak yang paling dekat hubungan keluarganya hingga yang
paling jauh sebelum tiba pada urutan Boas sendiri. Ya, mardakka do
salohot, marnata do na sumolhot. (Baca kitab Rut).

6). Vulgarisme
Setiap orang dapat marah. Tetapi caci maki dalam kemarahan berbeda-
beda pada tiap-tiap etnik. Orang Amerika terkenal dengan serapah:
son of a bitch, bastard, idiot, dll yang tidak patut disebut disini.
Suku-suku di Indonesia ini umumnya mengeluarkan makian dengan
serapah : anjing, babi, sapi, kurang ajar, dll.
Pada suku Batak makian seperti itu juga ada, tetapi ada satu yang
spesifik. Dalam sumpah serapahnya seorang Batak tak jarang memungut
sehelai daun, atau ranting kecil, atau apa saja yang dapat diremuk
dengan mudah. Maka sambil merobek daun atau mematahkan ranting yang
dipungut/dicabik dari pohon dia mengeluarka 6ea n sumpah
serapahnya:, , Sai diripashon Debata ma au songon on molo so hudege,
hubasbas, huripashon ho annon !!!”. Terjemahannya kira-kira
begini:,,Beginilah kiranya Tuhan menghukum aku kalau kamu tidak
kuinjak, kulibas, kuhabisi !!!”.

Robeknya daun atau patahnya ranting dimaksudkan sebagai simbol
kehancuran seterunya. Orang-orang Israel kuno juga sangat terbiasa
dengan sumpah serapah yang melibatkan Tuhan didalamnya. Vulgarisme
seperti ini terdapat banyak dalam kitab Perjanjian Lama, diantaranya
serapah Daud pada Nabal. (1 Sam. 25, perhatikan ayat 22 yang persis
sama dengan sumpah serapah orang Batak).

7). Nuh dan bukit Ararat
Ada beberapa etnik didunia ini yang mempunyai kisah banjir besar
yang mirip dengan air bah dijaman Nuh. Tiap etnik berbeda alur
ceritanya tetapi polanya serupa. Etnik Tapanuli juga punya kisah
tentang air bah, tentu saja formatnya berbeda dengan kisah Alkitab.
Apabila orang-orang yang sudah uzur ditanya tentang asal-usul suku
Batak, mereka akan menceritakan mitos turun temurun yang mengisahkan
kakek moyang orang Batak diyakini mapultak sian bulu di puncak bukit
Pusuk Buhit.

Pusuk Buhit adalah sebuah gunung tunggal yang tertinggi di Tapanuli
Utara, dipinggiran danau Toba. Pusuk Buhit sendiri artinya adalah
puncak gunung. Pusuk Buhit tidak ditumbuhi pohon, jelasnya tidak ada
bambu disana. Yang ada hanya tumbuhan perdu, ilalang, dan rumput
gunung. Bambu – dari mana kakek moyang keluar – menurut nalar
mendarat di puncak gunung itu dan mereka keluar dari dalamnya
setelah bambunya meledak hancur. Mengapa ada bambu pada puncak Pusuk
Buhit yang tandus dan terjal? Tentu saja karena genangan air yang
mengapungkannya, yang tak lain adalah banjir besar.
Dapat dipahami mengapa jalan cerita menjadi seperti itu, karena
setelah ribuan tahun terpisah dari induk bangsanya, narasi jadi
berbeda. Bahtera Nuh berubah menjadi sebentuk perahu bambu berbentuk
pipa yang kedua ujungnya ditutup, dan Bukit Ararat berubah menjadi
Pusuk Buhit.

8). Mangokal Holi atau Eksumasi (Pemindahan tulang belulang)
Jika Pemerintah mengubah fungsi lahan pekuburan, wajar jika tulang-
belulang para almarhum/ah dipindahkan oleh pihak keluarga yang
terkait. Alasan ini sangat praktis.

Bagi orang Tapanuli, penggalian tulang belulang (eksumasi) dari
kerabat yang masih satu dalam garis silsilah dan dikuburkan didaerah
lain adalah praktek yang sangat umum hingga sekarang. Sering
alasannya hanya untuk kepuasan batin belaka walaupun biayanya sangat
mahal karena termasuk dalam kategori perhelatan besar.
Pada bangsa Israel kuno hal semacam adalah kebiasaan umum. Sejarah
sekuler menuturkan bahwa tulang belulang Yusuf dibawa dari Mesir
ketika bangsa ini keluar dari sana. Juga dalam kitab lain dalam
Perjanjian Lama, sekelompok masyarakat berniat memindahkan tulang
belulang dari satu pekuburan (walaupun kemudian dihalangi oleh
seorang nabi).

9). Peratap/Ratapan
Adalah wajar bagi jika satu keluarga menangis disekeliling anggota
keluarga / kerabat yang meninggal dan terbujur kaku. Mereka
menangisi si mati, dan seseorang meratapinya. Meratap berbeda dengan
menangis. Meratap dalam bahasa Tapanuli disebut mangandung.
Mangandung ialah menangis sambil melantunkan bait-bait syair
kematian dan syair kesedihan hati.
Karena sepenuhnya terikat dengan komponen syair-sayir maka
mangandung ad 676 alah satu bentuk seni yang menuntut keahlian.
Untuk memperoleh kepiawaian harus belajar. Bahasa yang digunakan
sangat klasik, bukan bahasa sehari-hari. Setiap orang-tua yang
pintar mangandung akan mendapat pujian dan sering diharapkan
kehadirannya pada setiap ada kematian.
Di desa-desa, terutama di daerah leluhur - Tapanuli - tidak
mengherankan kalau seseorang orang yang tidak ada hubungan keluarga
dengan orang yang meninggal, bahkan tidak dikenal oleh masyarakat
setempat, namun turut mangandung disisi mayat. Masyarakat mendukung
hal seperti itu. Kata-kata yang dilantukan dalam irama tangisan
sangat menyentuh kalbu. Tak jarang pihak keluarga dari si mati
memberi pasinapuran (ang pao) kalau si peratap tersebut pintar,
sekedar menunjukkan rasa terima kasih.

Peratap-peratap dari luar ini sebenarnya tidak menangisi kepergian
si mati yang tidak dikenalnya itu. Alasannya untuk turut meratap
adalah semata-mata mengeluarkan kesedihan akibat kematian keluarga
dekatnya sendiri pada waktu yang lalu, dan juga yang lebih spesifik
yaitu mengekspresikan seni mangandung itu.

Ini sangat jelas dari ungkapan pertama sebelum melanjutkan andung-
andungnya :,,Da disungguli ho ma sidangolonhi tu sibokka nahinan”
Sibokka nahinan adalah anggota keluarga sipangandung yang sudah
meninggal sebelumnya. Selanjutnya dia akan lebih banyak berkisah
tentang mendiang familinya itu.

Bagaimana dengan bangsa Israel? Dari sejarah diketahui bahwa ketika
Yusuf (perdana menteri Mesir) meninggal, sanak keluarganya membayar
para peratap untuk mangandung. Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru berkali-kali mencatat kata -kata ratapan, meratap, peratap.
Kitab Ratapan yang ditulis oleh raja Salomo, dalam praktek Israel
kuno adalah syair-syair yang dilantunkan sambil mangandung, kendati
bukan pada acara kematian.

10). Hierarki pada tubuh
Dalam budaya Batak, kepala adalah anggota tubuh yang paling tinggi
martabatnya. Menyentuh kepala seseorang dengan tidak disertai
permintaan maaf yang sungguh-sungguh, bisa berakibat parah.
Sebaliknya anggota tubuh yang paling rendah derajatnya ialah telapak
kaki. Adalah penghinaan besar jika seseorang berkata kepada
seseorang lain:,,Ditoru ni palak ni pathon do ho = Kau ada dibawah
telapak kakiku ini”, sambil mengangkat kaki memperlihatkan telapak
kakinya pada seteru. Penghinaan seperti ini hanya dilontarkan oleh
seseorang yang amarahnya sudah memuncak dan sudah siap berkelahi.
Pada zaman dulu, dalam setiap pertemuan, telapak kaki selalu
diusahakan tidak nampak ketika duduk bersila. Pada bangsa-bangsa
Semitik tertentu di Timur Tengah, tradisi semacam ini masih tetap
dijaga hingga sekarang karena memperlihatkan telapak kaki pada orang
lain adalah pelanggaran etika yang berat, karena telapak kaki tetap
dianggap anggota tubuh yang paling hina derajatnya.

11). Tangan kanan dan sisi kanan
Dalam budaya Tapanuli, sisi kanan dan tangan kanan berbeda tingkat
kehormatannya dengan sisi kiri dan tangan kiri. Jangan sekali-kali
berinteraksi dengan orang lain melalui tangan kiri jika tidak karena
terpaksa. Itupun harus disertai ucapan maaf. Dalam Alkitab banyak
tercatat aktivitas sisi `kanan’ yang melambangkan penghormatan atau
kehormatan.

Yusuf sang perdana menteri Mesir memprotes ayahnya Yakub yang
menyilangkan tangannya ketika memberkati Manasye dan Efraim (baca
Kejadian 48). Rasul Paulus dalam salah satu suratnya menyiratkan
hierarki anggota tubuh ini. Juga baca Pengkhotbah 10:2, Mzm 16:8,
Mat 25:33, 26:64 Mrk 14:62, Kis 7:55-56, 1Pet 3:22, dll.

12). Anak sulung
Dalam hierarki keluarga, posisi tertinggi diantara seluruh keturunan
bapak/ibu ialah anak sulung. Ia selalu dikedepankan dalam memecahkan
berbagai masalah, juga sebagai panutan bagi semua adik-adiknya. Jika
ayah (sudah) meninggal, maka anak sulung yang sudah dewasa akan
mengganti posisi sang ayah dalam hal tanggung jawab terhadap seluruh
anggota keluarga seperti yang diungkapkan dalam umpasa : Pitu batu
martindi-tindi, alai sada do sitaon na dokdok. Sitaon na dokdok itu
adalah si anak sulung. Tanggung jawab itulah yang membuat dia besar,
memberi karisma dan wibawa. Karisma dan wibawa, itulah profil yang
melekat pada anak sulung.

Alkitab ditulis dengan bahasa manusia, bangsa Israel kuno. Deskripsi
tentang anak sulung pada bangsa ini sama seperti yang ada pada suku
Batak yang sekarang, sehingga the term of the firstborn (istilah
anak sulung) banyak terdapat dalam kitab tersebut. (baca Kel 4:22,
34:20, 13:12 dan 15, Im 27:26, Bil 3:13, 8:17, Mzm 89:28, Yer 31:9,
Hos 9:20, Rom 8:23, Luk 2:27, 11:16, 1Kor 15:20 dan 23, Kol 1:15 dan
18, Ibr 1:6, Yak 1:18, dll)

13). Gender
Hingga sekarang posisi perempuan dalam hubungan dengan pencatatan
silsilah selamanya tidak disertakan karena perempuan dianggap milik
orang lain, menjadi paniaran ni marga yang berbeda. Hal yang sama
terjadi pada bangsa Israel kuno ; bangsa ini tidak memasukkan anak
perempuan dalam silsilah keluarga. Ada banyak silsilah dalam
Alkitab, tetapi nama perempuan tidak terdapat didalamnya kecuali
jika muncul sebagai yang sangat penting seperti Rut dan Maria (ibu
Yesus). Kalaupun nama Dina disebut juga dalam Alkitab, itu bukan
karena posisinya yang penting tetapi hanya sebagai pelengkap nama-
nama keturunan Yakub yang kemudian menurunkan seluruh bangsa Israel.
Dalam Tradisi Israel, anak perempuan tidak dihitung sebagai bangsa,
tetapi anak laki-laki, red.

13). Kemenyan BATAK TOBA
Ada cerita yang sangat dipercaya oleh masyarakat Tapanuli, Sumatera
Utara. Salah satu persembahan yang dibawa tiga majuz atau
cendekiawan dari timur untuk bayi Yesus yang baru dilahirkan di
Betlehem itu berasal dari Tanah Tapanuli. Persembahan itu berupa
kemenyan, mendampingi dua persembahan lainnya, emas dan mur. Lewat
cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan itu
dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan
besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem. Cerita itu semakin
bergulir mengingat sebagian besar penduduk Tapanuli beragama Kristen
dan Katolik yang erat dengan cerita kelahiran Yesus Kristus.
Kebenarannya memang perlu diteliti, tetapi setidaknya dari cerita
itu bisa terlihat bahwa sampai sekarang pun getah harum bernama
kemenyan, yang dalam bahasa Batak disebut haminjon, itu begitu erat
dengan kehidupan orang Tapanuli. Kepala Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Utara yang juga mantan Bupati
Tapanuli Utara RE Nainggolan menjelaskan, kemenyan pernah sangat
menyejahterakan masyarakat Tapanuli.

Dan, getah harum itu ikut pula membesarkan namanya. “Nenek saya
pedagang kemenyan,” tuturnya. Ia tahu persis, pada tahun 1936
neneknya sudah mempunyai mobil untuk mengangkut kemenyan dari
Tapanuli ke Pelabuhan Sibolga. Saat itu harga satu kilogram kemenyan
sama dengan satu gram emas. Standar itu dipakai terus oleh petani
dan pengepul di Tapanuli: Satu kilogram kemenyan sama dengan satu
gram emas. Satu kilogram kemenyan juga setara satu kaleng (16
kilogram) beras. Selain cerita tentang persembahan dari timur untuk
Nabi Isa itu, tak banyak orang tahu sejarah kemenyan di Tapanuli.
Kebanyakan warga menyebutkannya sebagai tanaman ajaib yang sudah ada
ratusan tahun dan menghidupi masyarakat Tapanuli.

14). Pemberian Nama Bayi yang Lahir Tujuh Hari
Di dalam tradisi Parmalim - Agama Leluhur Batak Kuno, setiap anak
bayi yang lahir selama tujuh hari harus di bawa ke Pancur untuk
Permandian dan sekaligus pemberian nama. Permandian bayi yang sudah
tujuh hari itu diserahkan ke Imam Parmalim. Setelah itu diberi nama
dengan diadakannya Pesta Martutu Aek.

Memang tidak ada sunat, tetapi beberapa suku Israel seperti Bene
Menashe di India dan Suku Chiang Min pun melakukan hal yang sama.
Karena apa? Karena mereka sudah melalui generasi ke generasi,
asimilasi, masuknya unsur-unsur lokal dan sebagainya, seperti nama-
nama dewa-dewi sesembahan lokal dimana mereka tinggal. Seperti
itulah, tetapi identitas keaslian mereka sebagai keturunan Israel
masih kelihatan. Seperti budaya, adat, Agama -Kepercayaan
Monotheisme (meskipun masuknya paham lokal setempat), dan beberapa
kebiasaan yang berbeda dengan suku - suku yang lainnya.

15). Monoteisme Hamalimon – Parmalim – Ugamo Malim
Hamalimon – Parmalim – Ugamo Malim, Agama Leluhur Bangso Batak Toba
Parmalim, kaum minoritas yang tegar mempertahankan nilai leluhur
batak. Kata Malim berasal dari bahasa Arab yang terdapat di kitab-
kitab suci; yang berarti suci dan saleh dari asal kata Muallim.
Dalam bahasa Arab Muallim merujuk kepada istilah orang suci yang
menjadi pembimbing dan sokoguru. Parmalim diistilah Batak berkembang
ke dalam pengertian; orang-orang saleh berpakaian sorban putih.
Parmalim merupakan agama monotheis asli Bangso Batak Toba. Parmalim
sudah ada sejak 497 Masehi atau 1450 tahun Batak.
TUHAN menurut Hamalimon –Parmalim – Ugamo Malim
Ugamo malim menyebut Tuhan adalah Mulajadi na Bolon (Awal Mula Yang
Besar, red). Mulajadi na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak
bermula dan tidak berujung. Bahwa Mulajadi na Bolon atau Tuhan itu
wujud atau ada. Tetapi tidak dapat dilihat. Dia tidak bermula dan
tidak mempunyai ujung. Dia adalah mutlak absolut, Maha Esa, Maha
Kuasa, Maha Agung dan tidak dapat dibandingkan. Dia dekat dan jauh
dari alam ciptaannya. Dia adalah kuasa yang menghukum dan kuasa
mengampuni. Kuasa kasih dan kuasa murka. Demikianlah sifat-sifat
Mulajadi Na Bolon, Tuhan yang satu bersadarkan Ugamo Malim.

Dalam Injil Perjanjian Lama, menceritakan Raja Salomo dikenal dengan
Nabi Sulaiman, memerintahkan rakyatnya melakukan perdagangan dan
membeli rempah-rempah hingga ke Ophir. Ophir patut diduga adalah
Barus di Tapanuli. Perkiraan itu punya jejak spiritual berbentuk
kepercayaan monotheisme. Misalnya Ugamo Parmalim yang menjadi agama
asli etnis Batak, meyakini Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Ompu
Mulajadi Na Bolon (Parmalim atau Ugamo Malim, pen).

Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Nestorian dari Persia
yakni Iran, yang menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu
diperkirakan datang sekira tahun 600an Masehi dan mendirikan gereja
pertama di Desa Pancuran, Barus.

Tambahan: Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9,
diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420
talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau.
Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-
Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s.
berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-
Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati
Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir
itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat
pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis
Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang
Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-
15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di
sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

Secara “teologis” bisa dikatakan bahwa ugamo malim juga menganut
paham monoteistik, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena
tujuan akhir semua doa mereka tetap diarahkan kepada debata Mulajadi
Nabolon (Tuhan Pencipta langit dan bumi). Ini hal yang luar biasa
uniknya. Tidak ada analisis yang dapat menerangkan itu jika tidak
menghubungkannya dengan faham monoteisme Yudaisme bangsa Israel kuno
yang terbawa melekat hingga sekarang, tidak lekang oleh kikisan
kurun waktu ribuan tahun.

Dalam melaksanakan ibadah, Parmalim melaksanakan upacara (ritual)
Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta
memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat
melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.
Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7
aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan
tersebut adalah :
1. Martutuaek (kelahiran)
2. Pasahat Tondi (kematian)
3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)
4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan
Simarimbulubosi)
7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)
Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus
menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan seperti menghormati dan
mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh
berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya. Diluar
hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging
babi, daging anjing dan binatang liar lainnya, serta darah.
Manusia yang mematuhi dan mengikuti ajaran Tuhan dan melakukannya
dalam kehidupannya, memiliki pengharapan kelak ia akan mendapat
kehidupan roh suci nan kekal.-Kata bijak Ugamo Malim
Secara implisit, inilah yang menjadi ajaran suci keyakinan Ugamo
Malim atau lebih dikenal dengan Parmalim di Tanah Batak sejak turun
temurun, seperti yang dikatakan Raja Marnakkok Naipospos selaku Ulu
Punguan (pemimpin spiritual) Parmalim terbesar di Desa Hutatinggi
Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.
Menurut beberapa pandangan ilmuwan sosial, sebenarnya Ugamo Malim
layak menjadi sebuah agama resmi. Alasannya ialah dalam ajaran
aliran ini juga terdapat nilai-nilai religius yang bertujuan menata
pola kehidupan manusia menuju keharmonisan, baik sesama maupun
kepada Pencipta.

Dan secara ilmu sosial tujuan ini mengandung nilai luhur. Bahkan,
ajaran Parmalim menuntut manusia agar hidup dalam kesucian,”
jelasnya kemudian menerangkan secara detail asal-muasal kata
Parmalim yang berasal dari kata “malim”.
Malim berarti suci dan hidup untuk mengayomi sesama dan meluhurkan
Oppu Mulajadi Nabolon
atau Debata (Tuhan pencipta langit dan bumi). “Maka, Parmalim dengan
demikian merupakan orang-orang mengutamakan kesucian dalam
hidupnya,” jelas Marnangkok. Yang kami puja tak lain adalah Oppu
Mula Jadi Na Bolon bukan”begu” (roh jahat),” katanya.
“Dan inilah yang menjadi bias negatif dari masyarakat terhadap
Parmalim.” Marnangkok kemudian menjelaskan, Oppu Mula Jadi Nabolon
adalah Tuhan pencipta alam semesta yang tak berwujud, sehingga Ia
mengutus sewujud manusia sebagai perantaraannya (parhiteon), yakni
Raja Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi.
Raja Nasiak Bagi merupakan julukan terhadap kesucian (hamalimon)
serta jasa-jasanya yang hingga akhir hidupnya tetap setia mengayomi
Bangsa Batak. Nasiak Bagi sendiri berarti ditakdirkan untuk hidup
menderita. Ia bukan raja yang kaya raya tetapi hidup sama miskin
seperti rakyatnya.

Dengan demikian, Parmalim meyakini bahwa Raja Sisingamangaraja dan
utusan-utusannya mampu mengantarkan mereka (Bangsa Batak) kepada
Debata. Ugamo Malim diyakini sebagian orang sudah ada sebelum ajaran
Kristen dan Islam masuk ke daerah itu. Hidup dalam kepasrahan.
Barangkali itu jugalah intisari dari pernyataan kata bijak Parmalim
yang mengatakan: “Baen aha diakkui sude bangso on hita, ia anggo so
diakkui Debata pangalahon ta.” (Tidakklah begitu berarti pengakuan
semua bangsa terhadap kita, dibandingkan pengakuan Tuhan terhadap
perilaku kita).

Catatan: Sisingamangaraja, adalah Singa yang merajai. Para Datu atau
Tua-Tua Batak Toba, menjuluki Singa bagi Hukum dan Singa bagi para
raja. Padahal Singa tidak ada di Tapanuli, yang ada hanyalah
Harimau. Kalau dilihat dari makna simbolis alkitab, hanya Suku
Yehuda yang dijuluki Singa Yehudah.
Seperti apa yang kemudian dijelaskan Marnangkok, Pemimpin
Parmalim, ” Untuk apa
pengakuan dari setiap bangsa jika Tuhan sendiri tidak mengakui
perbuatan kita di dunia ini?” Nampaknya, perjuangan Ugamo Parmalim
sudah berujung pada kepasrahan. Dalam kepasrahan ini tentu saja
masih ada harapan. Tapi, harapan itu bukanlah berasal dari dunia,
melainkan dari Oppu Mula Jadi Nabolon. Dalam harapan itu, ada pula
ketaatan untuk selalu mempertahankan hidup suci.
Selanjutnya ia mengucapkan kalimat dalam bahasa Batak, “Berilah
kepada kami
penghiburan yang menangis ini, bawalah kami dari kegelapan dunia ini
dan berilah kejernihan dalam pikiran kami.” Mereka yakin Debata
hanya akan memberkati orang yang menangis. Nah, dalam kepasrahan
yang berpengharapan inilah mereka hidup. Dalam keterasingan itu juga
mereka menyerahkan hidupnya pada “kemaliman” (kesucian). “Parmalim
adalah mereka yang menangis dan meratap,” katanya.
Dalam ritual Ugamo Parmalim sendiri, terdapat beberapa aturan dan
larangan. Selain mengikuti 5 butir Patik ni Ugamo Malim (5 Titah
Ugamo Malim), juga terdapat berbagai kewajiban lainnya seperti
Marari Sabtu atau ibadah rutin yang diadakan setiap Sabtu. Dalam
menjelang hari Sabtu, pengikut Parmalim dilarang bekerja atau
melakukan kegiatan apapun. Atau melakukan ucapan syukur dilakukan
umat Parmalim setiap hari Sabtu.
Marnakkok Naipospos, pemimpin Parmalim mengatakan: “Samisara itu
hari ketujuh bagi orang Batak. Diidentikkan dengan hari Sabtu,
supaya berlaku untuk selamanya.
Karena kalau kita bertahan pada kalender Batak, yang muda ini bisa
bingung. Makanya kakek kita menentukan samisara ini hari Sabtu.”
Kewajiban lain di antaranya adalah Martutu Aek, yakni pemandian bayi
yang diadakan sebulan setelah kelahiran, Pasahat Tondi yaitu ritual
sebulan setelah kematian, Pardebataan, Mangan na Paet dan Pangkaroan
Hatutubu ni Tuhan.

Ada pun larangan yang hingga kini masih tetap dipertahankan di
antaranya adalah larangan untuk memakan daging babi dan darah hewan
seperti yang lazim bagi umat Kristen. Memakan daging babi atau darah
dianggap tidak malim (suci) di hadapan Debata. Padahal dalam ajaran
Parmalim sendiri dikatakan, jika ingin menghaturkan pujian kepada
Debata, manusia terlebih dahulu harus suci. Ketika menghaturkan
pelean (persembahan) kesucian juga dituntut agar Debata dan manusia
dapat bersatu. Selanjutnya, Raja Sisingamangaraja memiliki keturunan
hingga 12 keturunan. Itu pun secara roh.

Inilah yang kemudian menjadi acuan pada acara atau ritual-ritual
besar Ugamo Parmalim yang diadakan rutin setiap Sabtu dan setiap
tahunnya. Ritual-ritual besar Parmalim itu seperti Parningotan
Hatutubu ni Tuhan (Sipaha Sada) dan Pameleon Bolon (Sipaha Lima),
yang diadakan pertama pada bulan Maret dan yang kedua bulan Juli.
Yang kedua diadakan secara besar-besaran pada acara ini para
Parmalim menyembelih kurban kerbau atau lembu. “Ini merupakan tanda
syukur kami kepada Debata yang telah memberikan kehidupan,” kata
Marnangkok.

Catatan: Dalam Kitab Paramalim, yakni Tumbang Holing, terdapat kisah
manusia pertama, Adam dan Hawa termasuk taman eden dimana hawa
digoda si ular. Hal itu dalam istilah bahasa Batak Toba. Parmalim
itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh
sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis
Batak. Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan
Batak Toba dan Parmalim, agama leluhur Bangso Batak Toba, cenderung
mendekati simbol-simbol agama Samawi, misalnya, tongkat, pedang,
sorban berwarna putih serta stempel kerajaan. Jika dihubungkan
cerita tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah-
rempah pengawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah
tentang Raja (Nabi) Sulaiman/ Salomo membutuhkan rempah-rempah dari
Ophir (Barus) di Tapanuli, diperkirakan jejak agama monotheisme
Israel terserap dan kemudian mengakar dalam keyakinan Parmalim –
Hamlimon – Ugamo Malim, agama Bangso Batak Toba.
Bahkan, Istilah Anak Ni Raja, dalam bahasa BATAK, yang berarti Anak Raja mengacu kepada Si Raja Batak sebagai keturunanRaja Shalomo (Yang terkenal Kebijaksanannya atau Berhikmat), anak dari Raja Israel yang terkenal, Raja Daud (Terkenal Kepahlawanannya dan Ketakwaannya).
Saya cukupkan saja dulu hingga disitu, karena terlalu letih untuk
membeberkan semua, termasuk indikasi-indikasi lemah yang banyak
jumlahnya. Jika data yang diatas itu saja dibawa kepada ahli
statistik, yang tentu akan mempertimbangkan semua aspek-aspek lain
yang terkait kedalamnya, simililaritasnya dengan tradisi bangsa
Israel kuno dengan bukti autentik tertulis dalam Alkitab, informasi
sejarah sekuler, tradisi Semitik yang ada hingga sekarang, serta
kesamaan tradisi itu pada suku Batak setelah kurun waktu kurang
lebih 3000 tahun, angka perbandingan untuk mengatakan bahwa suku
Batak Toba bukan keturunan Israel mungkin 1 : 1,000,000 bahkan bisa
jadi lebih.

Tulisan ini tidak bermaksud menampilkan superioritas ras, suku atau
bangsa atau budaya tertentu. Jika tulisan ini menimbulkan kesan
seolah-olah menonjolkan superioritas suatu budaya tertentu, hal itu
semata-mata terjadi karena topik yang berfokus pada peran suatu
etnis atau Bangso Batak Toba. Keberadaan unsur asing dalam
kebudayaan suatu bangsa adalah sebuah kewajaran. Penyerapan unsur
asing ke dalam suatu budaya lokal tidak berarti menunjukkan
inferioritas kebudayaan yang menyerapnya.

Sejarah justru mencatat, kebesaran suatu kebudayaan berkorelasi
positif dengan banyaknya unsur asing yang diserap dan dikembangkan
oleh komunitas budaya bersangkutan. Sejarah juga mencatat interaksi
suatu komunitas budaya dengan komunitas budaya lain, berjalan timbal
balik, tidak pernah searah saja. Tulisan ini mestilah dipahami
sebagai upaya menampilkan kemungkinan terjadinya pertukaran nilai
budaya dalam rentang waktu beberapa abad antara Timur dengan Barat.
Pada jaman Raja-raja Israel dan Yehudah, telah dilakukan kontak
dengan Barus, Tapanuli dengan Israel, Mesir, Persia, Cina, India,
Arab, Yunani dan Pakistan yang terjadi satu milenium sebelumnya,
hubungan dagang tersebut sudah berlangsung beberapa abad sebelum
masehi).

BIOGRAFI 100 TOKOH BATAK Dari Abad Sebelum Masehi Sampai Abad ke-19

1. Si Raja Batak (Sebelum Masehi dan Sebelum ada Marga)

Merupakan nama kolektif dari para leluhur Batak. Banyak orang yang salah sangka dengan nama si Raja Batak ini, karena mengira Si Raja Batak merupakan nama individu atau personal yang menurunkan atau melahirkan semua bangsa Batak.

Kebanyakan para sejarawan Batak menggunakan istilah Si Raja Batak sebagai nama kolektif yang menjadi representasi para nenek moyang para Bangsa Batak yang tersebar mulai dari Aceh, Tanah Batak sampai dengan sebagain daerah Minang.

Paska zaman nenek moyang tersebut, masyarakat Batak terbagi menjadi tiga kubu kelompok masyarakat. Pertama Tatea Bulan, kedua Sumba dan ketiga Toga Laut. Jadi ketiga nama tersebut bukanlah nama anak-anak si Raja Batak seperti yang dikira banyak orang, akan tetapi nama kubu atau kelompok marga. Setidaknya seperti itulah yang banyak dipahami para ahli.

Walaupun memang, untuk kepentingan ideologi marga yang eksogamis, nama-nama kelompok dan komunitas tersebut dipersonifikasi untuk menyederhanakan identifikasi dalam hal urusan perkawinan. Beberapa nama dan marga tersebut dibentuk berdasarkan lebih kepada musyawarah atau konsensus dari pada terjadi sendiri tanpa terencana. Oleh karena itulah dalam penulisan tarombo, nama-nama itu dianggap sebagai “anak-anak” si Raja Batak.

2. Tatea Bulan (Sebelum Masehi)

Nama kubu dan nama seorang Raja. Dikenal juga dengan nama Guru Tatea Bulan karena maha karyanya yang bernama Pustaha Agung yang menjadi pedoman adat Batak sampai sekarang.

Kitab ini membahas cakupan antara lain; Ilmu Hadatuan (Medical dan Metaphysical Science), Parmonsahon (Art of Self Defence & Strategy-cum-Tactical Science) dan Pangaliluon (Science of Deceit).

Menurut legenda, Guru Tatea Bulan atau disebut juga Toga Datu pernah pergi menemui pamannya (Saudara dari Ibunya) di Siam. Dia bermaksud meminang paribannya, putri sang Paman/Tulang. Tapi rencananya tidak berhasil, tidak disebutkan alasannya. Ketika dia kembali ke kampung halaman, Sianjur Mulamula, dia terkejut dan sangat sedih menemukan kampung halaman yang ditinggalkannya telah kosong. Ayahnya, Si Raja Batak telah meninggal dunia.

Sementara itu, adiknya, Raja Isumbaon telah pindah ke Dolok Pusuk Buhit dekat dengan Pangururan sekarang ini. Adik bungsunya Toga Laut mengembara dan membuka wilayah yang sekarang masuk ke Aceh dan bernama Gayo/Alas.

Dia berinisiatif untuk menemui adiknya; Raja Isumbaon. Di sana dia menetap sementara dan kemudian kembali ke Sianjur Mula-mula, tempat lahirnya. Dia berusaha bangkit dari kepedihan hidupnya tersebut dengan menghabiskan waktunya dengan berkontemplasi dan bekerja; bercocok tanam di sawah. Pada saat-saat itulah dia bertemu dengan seorang wanita pendatang, yang kesasar, dan mengaku bernama Boru Sibasoburning Guru. Sibasoburning mempunyai bahasa yang berbeda dengan bahasa Batak.

Hati tertarik, mungkin sudah jodoh, keduanya menikah. Hasilnya adalah anak pertama raja Miok-miok yang disebut sebagai Raja Gumelleng-gelleng, disebut juga raja Miok-miok atau Biak-biak dengan gelar Raja Uti.

Guru Tatea Bulan dianggap menurunkan sembilan keturunan, lima laki-laki dan empat perempuan yaitu, Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja (Malauraja), Boru Pamoras, Boru Pareme, Boru Biding Laut dan Natinjo

Melalui Tatea Bulan inilah turun beberapa keturunan Batak yang paling banyak berkecimpung dalam peradaban Batak. Diantaranya adalah Keturunan Raja Uti, Keturunan Raja Lontung, Pasariburaja dan lain sebagainya.

3. Guru Isumbaon (Sebelum Masehi)

Guru Isumbaon merupakan pemimpin kelompok Sumba di komunitas Batak yang dianggap posisinya sebagai adik dari Tatea Bulan dalam hal adat. Sebagaimana Guru Datu, Isumbaon juga mempunyai kapasitas sebagai ilmuwan Batak saat itu.

Ajaran Raja Isumbaon termaktub dalam Kitab Pustaha Tumbaga Holing mencakup; Harajaon (Political Science or the science about the kingdom), Parumaon (Legislation), Partiga-tigaon (Econimics Science or The Arts of Trading) dan Paningaon (Life Skills or Technology.

4. Raja Uti (sebelum Masehi)

Dianggap sebagai kubu paling senior di antara masyarakat Tatea Bulan. Raja Uti menjadi salah satu raja yang memerintah di Sianjur Mula-mula sebelum akhirnya memindahkan ibukotanya ke Barus. Dia merupakan Raja Batak pertama yang memerintah masyarakat maritim Batak.

Dia mempunyai sebukan Raja Biak-biak, Raja Miok-miok, Raja Gumelleng-gelleng dan Raja Hatorusan. Dalam ajaran Parmalim, Raja Uti dianggap sebagai Rasul Batak. Walupun begitu, keturunan Raja Uti sekarang ini kebanyakan menganut agama Islam yang hidup di daerah pesisir barat Sumatera Utara.

5. Tuan Sariburaja

Merupakan tokoh Batak yang diketahui menjadi seorang Batak pertama yang terlibat dalam skandal seks sumbang dengan adiknya sendiri Si Boru Pareme. Hasil dari skandal inilah yang melahirkan Raja Lontung yang menjadi nenek moyang Toga Lontung yang merupakan kelompok marga paling dominan di dalam sejarah peradaban Batak.

Dalam pengembaraan, Tuan Sariburaja kemudian menikah secara resmi dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.

Friksi dalam keluarga kecil ini menyebabkan perpecahan yang panjang antara Si Raja Lontung dengan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja kontra keturunan Si Raja Lontung.

Perkawinan eksogamus diyakini berkembang karena friksi dalam keluarga ini. Sehingga akhir dari pertentangan itu adalah terbentuknya dalihan natolu.

Karena itulah dalam kehidupan sosial berikutnya, aliansi keturunan Raja Borbor tersebut menggunakan panggilan "amangboru" yang lebih kurang berarti ipar dan tidak menggunakan tuturan seharusnya, yakni abang terhadap keturunan Si Raja Lontung.

6. Raja Sori Mangaraja (Sagala) 1000 SM

Merupakan pendiri Dinasti Sori Mangaraja dari Marga Sagala yang merupakan dinasti paling lama di tanah Batak sampai kepada Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala yang telah memeluk Islam memerintah di Sipirok, ibukota terakhir Dinasti ini.

Kerajaan Sorimangaraja merupakan kerajaan Teokrasi pertama. Dimana pemimpin dianggap sebagai perwakilan tuhan di Bumi. Rajanya bergelar Datu Nabolon atau Supreme Witch Doctor

7. Raja Alang Pardosi

Alang Pardosi merupakan Raja pertama masyarakat Maritim Batak dari kubu Sumba tepatnya marga Pohan. Dia merupakan personalitas Sumba yang berhasil menyaingi Raja-raja Maritim keturunan Raja Uti dari kubu Tatea Bulan. Keturunan Alang Pardosi merupakan pendiri Kesultanan Batak pertama pada abad ke-7 melalui Sultan Kadir Pardosi.

Naskah Jawi yang dialihtuliskan di sini dipetik dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

Kisah dalam buku tersebut dimulai dengan kata-kata “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian dan dalam kisah itu tercatat bahwa anaknya, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan jantung tanah Toba untuk merantau.

Alang Pardosi meninggalkan keluarga dan rumahnya sesudah bertikai dengan ayahnya; bersama istri dan pengikutnya dia berjalan ke barat. Dalam sepuluh halaman pertama diceritakan perbuatan-perbuatan Alang Pardosi yang gagah berani, tanah yang dinyatakannya sebagai haknya di rantau, jaringan pemukiman baru yang didirikannya, dan perbenturannya dengan kelompok perantau lain dari Toba.

Alang Pardosi mengklaim hak atas sebidang tanah yang luas, yang merentang dari Kampung Tundang di Rambe (Pakkat sekarang), tempat ia menetap, ke barat sampai Singkil, ke timur sampai perbatasan Pasaribu, ke hilir sampai ke tepi laut. Termasuk di dalamnya Barus.

Keluarga yang berselisih dengan Alang Pardosi adalah keluarga Si Namora. Si Namorapun telah meninggalkan rumahnya di Dolok Sanggul sebagai akibat percekcokan dalam keluarga. Bersama istrinya dia menetap di Pakkat, dan Alang Pardosi, Sang Raja, menyadari kehadirannya ketika pada suatu hari dilihatnya sebatang kayu yang mengapung di sungai. Raja memungut upeti dari Si Namora sesuai dengan adat berupa kepala ikan atau binatang apapun yang dapat dibunuh Si Namora.

Si Namora berputera tiga orang yang beristrikan ketiga puteri Alang Pardosi. Akhirnya yang sulung dari ketiga putera Si Namora yaitu Si Purba, mengambil keputusan untuk mempermasalahkan hubungan antara kedua keluarga sebagai pemberi dan penerima upeti. Maksudnya itu dilaksanakan dengan mengakali Pardosi.

Untuk itu dia harus kembali ke kampung ayahnya di Toba; dia harus mengumpulkan kekayaan keluarga berupa kain dan pusaka. Lalu dari kain-kain itu Purba membuatkan patung seekor rusa yang rupanya bukan main hebatnya dan kepalanya dipersembahkan kepada Pardosi sebagai Upeti. Alang Pardosi begitu takut melihat persembahan tersebut dan membebaskan keluarga Si Purba dari ikatan memberi upeti.

Setelah Alang Pardosi diperdaya, dia mencium adanya gugatan mengenai kedudukannya sebagai raja. Perang meletus dan si Purba memakai penghianatan untuk mengusir Alang Pardosi dan mengambil alih pemukimannya di Si Pigembar. Sebuah kudeta terjadi. Alang Pardosi kemudian mendirikan pemerintahan “in exile” di Huta Ginjang, kota yang baru dibangunnya.

Namun ada pembalasan dari pihak raja yang terusir. Saat kepemimpinan Si Purba pemukiman dirundung kelaparan. Raja yang sah, Alang Pardosi, diminta kembali untuk mengobati keadaan. Namun dia menolak dan meminta supaya si Purba membuatkannya rumah di Gotting, sebuah bukit antara Pakkat ke Barus, bukit tersebut dibelah oleh sebuh jalan yang menyempit di antara dinding batu napal yang keras, sekita lima kilometer dari Pakkat menuju Barus, di atas sebuah jalan sehingga semua orang yang ingin melalui jalan tersebut harus lewat di bawah rumahnya. Kedudukannya di sedemikian di persimpangan jalan-jalan penting memberi kekuasaan besar kepada Alang Pardosi yang menjadi raja yang paling berkuasa dari raja-raja Negeri Batak. Si Purba, kemudian, tinggal di tanah yang dibuka ayahnya yaitu Tanah Rambe atau Pakkat.

Jadi dalam kronik, Raja Alang Pardosi dengan demikian ditentukan sebagai pendiri garis keturunan baru. Proses ini berlanjut terus seusai dia wafat. Kedua anaknya, dari istri kedua, puteri Aceh; Pucara Duan Pardosi dan Guru Marsakot Pardosi berpisah dan pindah ke arah yang berlainan supaya tidak bertikai.

Pucara Duan tinggal pindah ke arah pantai dan menetap di daerah Tukka yang pada abad ke-19 merupakan pusat besar untuk penghimpunan persediaan kapur barus dan kemenyan dan dari sana dibawa ke Barus.

8. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan

Merupakan tokoh yang disegani dalam adat. Walupun dia bukan merupakan seorang Raja, namun posisinya sampai sekarang masih sangat dihargai. Khususnya dalam reorganisasi sistem adat dan budaya Batak.

Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa Batak.

Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga Nasution.

9. Erha Ni Sang Maima

Merupakan putra dari Raja Doli yang memerintah di Sianjur Mula-mula dan melebarkan kekuasaan mereka sampai ke wilayah Lontung di Samosir Timur.

Dari legenda rakyat mengenai Erha Ni Sang Maima, dia merupakan panglima yang berhasil menggunakan teknologi canggih saat itu dalam pasukannya. Teknologi tersebut adalah penggunaan mesiu dan mercon dengan kuantitas yang besar sehingga menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat. Dalam sebuah penumpasan perang terhadap pemberontak, Erha Ni Sang Maima menggunakan ‘rudal’ tersebut yang meluluh lantakkan sebuah wilayah dan hasil dari ledakan tersebut menyebabkan sebuah cekungan yang akhirnya menjadi danau kecil di daerah Toba. Ada yang mengatakan bahwa letak danau tersebut adalah di Kampung Silaban.

10. Guru Marsakkot Pardosi

Merupakan keturunan Raja Alang Pardosi yang memerintah di pesisir barat Sumatera Utara. Guru Marsakkot merupakan Raja pertama dari keturunan Alang Pardosi yang memerintah sebuah kerajaan Batak yang penduduknya terdiri dari campuran orang-orang Batak dan para saudagar asing khususnya Bangsa Ceti atau yang dikenal sekarang dengan nama Bangsa Tamil atau Keling.

11. Raja Lingga

Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

12. Sultan Kadir Pardosi

Merupakan generasi berikutnya dari Raja Alang Pardosi melalui Guru Marsakkot Pardosi. Dia merupakan keturunan pertama dari Alang Pardosi yang mendirikan kesultanan Batak.

Namun sayang pada masa pemerintahannya, sebuah serbuan dari makhluk yang disebut penduduk sebagai ‘orang-orang Gergasi’ melanda pemerintahannya di Barus sehingga menimbulkan ketidak nyamanan terhadap para saudagar-saudagar asing di kerajaannya.

Akibatnya para orang-orang kaya Batak dan Asing melarikan diri melalui laut menuju Lamuri demi menyelamatkan diri dari terror makhluk tersebut di Barus. Tidak diketahui bagaimana bentuk dan rupa makhluk Gergasi tersebut.

Namun yang pasti, di abad ke-10 pamor Lamuri sebagai kota pelabuhan yang banyak dikunjungi asing semakin terkenal sejajar dengan Barus. Bahkan hasil-hasil produk Barus seperti kamper harus dibawa dulu ke Lamuri untuk kemudian diekspor. Sebagian ada yang diekspor melalui pelabuhan Natal atau melalui darat ke pelabuhan Kerajaan Pane di pesisir timur Sumatera melalui Sungai Barumun.

13. Meurah Johan Lingga

Merupakan putera Raja Lingga. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri

14. Meurah Silu alias Malik al-Saleh

Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan Daya.

Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan kedaulatan sendiri-sendiri.

Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak mazhab syiah.

15. Sultan Malik Al Mansyur putera Malik al-Saleh (1299-1322).

Pendiri Kerajaan Syiah Aru Barumun yang menjadi saingan kerajaan ayahnya Malik al-Saleh di Kesultanan Samudra Pasai.

16. Sultan Firman Al Karim (1336-1361).

Merupakan Sultan ketiga di Kesultanan Aru Barumun. Pada era-nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.

17. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407).

Merupakan Sultan ke-6 dari Kesultanan Aru Barumun. Dalam masa pemerintahannya dia banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina

18. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji.

Dia merupakan Sultan ke-7 dari Kesultanan Aru Barumun. Pada tahun 1409 dia menjadi salah satu orang Batak yang ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.

19. Hidayat Fatahillah

Putra mahkota terakhir Kesultanan Samudera Pasai, yang didirikan oleh Meurah Silo, sebelum diakuisisi oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Dia mengungsi ke Jawa dan mendirikan kota Jakarta serta menjadi tokoh yang mempertahankan Jakarta dari gempuran Portugis. Di akhir hayatnya dia menjadi Sunan Gunung Jati. Salah satunya Sunan dari orang Batak marga Silo. Namun banyak yang yakin bahwa sebenarnya dia adalah keturunan Arab.


20. Sultan Muhammadsyah (abad ke-15 M)

Dalam konstalasi politik berikutnya, di pesisir Barat Sumatera, terjadi persaingan dan pertikaian politik antara Sultan Moghul, Raja Pariaman, di Sumatera Barat, selatan pesisir Barus dengan Sultan Ri'ayatsyah yang dikenal dengan dengan Raja Buyung di Aceh. Keduanya masih bersaudara. Puncaknya Sultan Moghul ingin menaklukkan Aceh.

Armada angkatan laut Sultan Moghul berangkat menuju Aceh. Beribu pasukan ‘marinir’ tersebut kemudian berlabuh dan melepas jangkar di Fansur untuk memenuhi kebutuhan logistik mereka. Fansur memang pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan dunia, tokoh yang lahir dari wilayah ini adalah mereka yang mempunyai kinayah Al Fansuri.

Saat itu panglima memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari tahu mengenai perkembangan Aceh yang terkini. Mereka meminta nasehat dari dua orang ahli strategi Batak; Datu Tenggaran dan Datu Negara, keduanya dari klan Pasaribu. Mereka juga diajak untuk ambil bagian dalam misi tersebut. Posisi Fansur yang cenderung netral tergoyahkan.

Namun perkembangan politik dan melalui pertimbangan-pertimbangan, pasukan Sultan Mogul membatalkan niat penyerbuan tersebut. Datu Tenggaran diminta untuk memimpin pasukan kembali ke Pariaman.

Datuk Negara sendiri tidak berkenan untuk mengikuti pasukan tersebut ke Pariaman, dia lebih memilih untuk tetap berada di Fansur. Dalam pesan selamat tinggalnya, Datuk Teggaran bersumpah kelak akan kembali ke negeri Fansur di Barus. Segumpal tanah dan sekendi air Fansur jadi saksinya.

Di Negeri Pariaman, Datu Tenggaran menyempatkan diri untuk memperdalam agama Islam. Diapun berganti nama menjadi Muhammad. Kegigihan dan kedisiplinan Muhammad dalam mengemban tugas-tugas negara membuat Sultan Moghul bersimpati. Dia menawarkan adiknya Siti Permaisuri putri raja Indrapura Munawarsyah.

Setelah menikah, keduanya membuka wilayah baru dan dinamakan Tarusan untuk mengenang kakeknya Raja Hatorusan II di Negeri Fansur. Sebagai petinggi dan pembuka wilayah Datu Tenggaran dianugerahi gelar Sultan Muhammadsyah.

Di kota baru ini Muhammadsyah juga membawa serta ribuan pengikutnya. Muhammadsyah sendiri mulai membina keluarganya dengan rukun. Anak-anaknya tumbuh besar dan berkembang dengan didikan disiplin dan kebijaksanaan yang mendalam dari sang ayah.

Namun, Salah satu anaknya yang bernama Sultan Ibrahimsyah, menjelang dewasa, sekitar umur 17 tahun, berselisih paham dengannya. Perselisihan tersebut meruncing dan tidak dapat diatasi lagi. Ibrahimsyah pun memilih untuk meninggalkan Negeri Terusan dengan membawa pengikut 1000 orang menuju Fansur.

21. Sultan Mualif Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

22. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

23. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

24. Sultan Marah Sifat Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

25. Mahkuta alias Manghuntal atawa Sisingamangaraja I

Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel--ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.

Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.

Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II.

Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.

Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti- perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut.

Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.

26. Guru Patimpus

Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.

Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.

Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.

Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.

27. Sisingamangaraja II

Dikenal dengan nama Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595

28. Hafidz Muda putera Guru Patimpus

Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.

29. Panglima Manang Sukka

Dia adalah orang Karo yang menjadi prajurit pasukan Aceh dan tahun 914 H/1508M, dia mendirikan Kerajaan Haru Delitua. Dia memakai gelar Sultan Makmun Al Rasyid I. Permaisurinya bernama Putri Hijau, saudara perempuan dari Sultan Mughayat Syah.

Angkatan Bersenjata Portugis dari Malakka pata tahun 930 H/1523 M menggempur Kesultanan Haru Delitua. Mereka bergerak dan menyisir daerah yang bernama Labuhan Deli sampai Deli Tua sambil menembaki siapa saja manusia yang hidup di daerah tersebut.

Mereka menggempur pasukan Makmun Al Arsyid dengan persenjataan berat dan artileri. Pasukan Makmun Al Rayid dengan bantuan pasukan dari Aceh bertahan di Sukamulia dan semuanya tewas dalam pembantaian tersebut.

Pasukan pengawal istana kerajaan habis dibantai yang terdiri dari semua penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Permaisuri Putri Hijau dengan lima orang putrinya ditawan oleh pasukan keling di bawah tentara Portugis ini. Para kaum keling India ini berasal dari provinsi Goa di India barat. Pasukan tersebut juga didukung oleh orang-orang Macao, Cina. Para putri-putri tersebut menjadi korban kebiadaban perkosaan dari tentara-tentara bayaran tersebut.

Putri Hijau sambil berzikir diikat ke mulut sebuah meriam lalu diledakkan. Tubuhnya hancur lebur tanpa bentuk. Puntung dari meriam Portugis itu menjadi “Keramat Meriam Puntung”, sebuah relik bagi orang-orang Karo Dusun yang muslim.

Pada tahun 1853, Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh, mengangkat Wan Usman di Labuhan Deli dengan nama Sultan Usman Perkasa Alam menjadi Sultan Deli yang pertama.


30. Tuanku Maraja Bongsu Pardosi (1054 H)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.


31. Jonggi Manoar I

Sebenarnya Jonggi Manoar merupakan nama lembaga adat. Namun yang ingin dibahas di sini adalah orang yang menempati jabatan tersebut pertama sekali.

Lembaga Jonggi Manoar atau Menawar merupakan lembaga raja atau perwakilan raja yang dibentuk oleh Tuanku Sultan Marah Laut Pasaribu (hidup di era Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi, 1054 H atau Tuanku Mudik/Dihulu), saat berkunjung ke Luat Sagala Limbong di Toba. Pasaribu, Limbong dan Sagala merupakan keturunan Tatea Bulan.

Diceritakan, melalui, Sejarah Tuanku Batu Badan atau Tambo Barus Hilir, sebuah manuskrip sejarah bertuliskan Arab dan berbahasa melayu yang masih disimpan oleh Zainal Arifin Pasariburaja di Barus, seorang keturunan Bangsawan Kesultanan Dinasti Pasaribu, atau Tuanku Di Hilir. Manuskrip tersebut telah beredar banyak dalam tesis seorang peneliti dari Australia.

Bahwa sepeninggalan Sultan Adil Pasaribu, kesultanan Barus diserahterimakan kepada putranya Tuanku Sultan Marah Laut. Disaksikan oleh semua penduduk kerajaan. Di Barus sendiri terdapat dualisme pemerintahan. Di satu pihak berdiri Dinasti Pardosi (Turunan Marga Pohan) dari Sumba yang dikenal dengan Tuanku Di Hulu atau Tuanku Mudik dan yang satu Dinasti Pasaribu dari Tatea Bulan yang dikenal Tuanku Di Hilir, penerus Kerajaan Hatorusan.

Diceritakan bahwa Sultan melakukan perjalanan ke Toba. Tidak diceritakan sebab-sebabnya. Tapi diyakini merupakan bagian dari memperluas dan mengambil dukungan dari pihak Toba yang menjadi nenek moyang Pasaribu untuk menghadapi Dinasti Pardosi. Kubu Pasaribu sendiri merupakan keturunan Borbor/TateaBulan yang sejak dahulu menghuni Luat Sagala Limbong.di Toba. Persaingan dengan kubu Dinasti Pardosi sangat intens. Sehingga perjalanan ini merupakan akibat dari konstelasi politik saat itu.

Perjalanan dilakukan melalui sebuah daerah yang bernama Doli (Dolok=Dolok Sanggul?). Di sana dia bermukim dan sempat berkeluarga dan mendapatkan anak laki-laki. Perjalanan diteruskan ke tujuannya yakni Sagala Limbong.

Di sana dia bermukim dan mendapat tempat dari penduduk setempat yang masih kerabatnya.

"Maka dengan takdir Allah SWT sekalian (orang-orang) Batak itupun takluklah kepadanya karena tiada dapat melawannya karena Tuanku Sultan Marah Laut terlalu gagahnya. Maka (masyarakat) Batak pun sujudlah menyembah ke bawah duli yang maha mulia serta diangkatnya jadi akan rajanya di sana." Demikian bunyi sejarahnya.

Setelah Sultan Marah Laut memerintah di Sagala Limbong dalam waktu yang lama, dia berpikir untuk kembali ke Barus.

Maka masyarakat dan petinggi kerajaan dikumpulkan mendengar titah sang raja. Sultan Marah Laut kemudian berdiri dan mengumumkan kepergiannya.

"Ya Tuan-tuan sekalian. Dengarkan hamba berkata. Adapun hamba ini negeri hamba sudah lama hamba tinggalkan dan sekarang hamba meminta izin pada tuan-tuan sekaliannya. Hamba hendak berjalan dahulu pulang ke negeri Barus karena hamba sudah lama meninggal(kan) saudara saya."

Namun keinginan tersebut ditolak oleh warga yang menginginkan kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai kewibawaan. Maka diambilkan jalan keluar melalui sebuah kompromi. Bahwa akan diangkat sebuah perwakilan Sultan di Sagala Limbong. Dan apabila melakukan sebuah upacara yang membutuhkan kehadiran Sultan maka hal itu dapat diwakilkan dalam pengiriman persembahan kepada pihak Sultan di Barus.

"Sekarangpun hamba perbuatlah akan wakil saya di sini sementaranya hamba belum balik, kiranya jikalau tidak, hamba berbalik kemari melainkan turut oleh tuan hamba ke negeri Barus. Jikalau hamba tidak ada melainkan anak cucu hamba banyak di Barus ke sanalah tuan-tuan menghantar 38 persembahan."

Sultan kemudian membentuk dua lembaga perwakilan di Sagala Limbong. Pertama bernama Raja Jonggi Menawar (disebut juga Manoar yang berasal dari kata Munawwar dari bahasa Arab, sebuah nama yang lazim digunakan yang berarti yang menyinari atau yang menerangi). Lembaga kedua bernama Raja Bunga-bunga. Melalui kedua raja inilah, Sultan memerintah daerah Sagala Limbong dan penghantaran persembahan ke Barus dilakukan.

Perjanjian yang dibuat antar pemuka adat saat itu bahwa

"Dalam satu tahun melainkan satu kali raja kedua itu mengantar persembahan kuda satu akan tetapi apabila raja kedua itu membawa kuda persembahan melainkan merurut membawa kambing jantan gadang seekor pemberi kepada Tuanku Mudik, karena kami sudah sebuah kota." Demikian bunyi perjanjian tersebut. Tuanku Mudik adalah Sultan-sultan Pardosi yang memerintah di hulu. Perjanjian tersebut selain bernilai adat tapi juga bernilai politik karena hal tersebut mengikat kedaulatan tiap-tiap huta.

Maka perjalanan pulang Sultan beserta para pejabat dan hulubalang kerajaan dilakukan melalui sebuah negeri yang bernama Lintong. Raja Lintong pun menerima perjanjian yang dibuat di Sagala Limbong tersebut.

Acara pemberian persembahan tersebut dilakukan setiap tahun. Dimulai dengan datangnya Raja Jonggi Manoar melalui negeri Lintong. Negeri Lintong juga akan ikut memberikan persembahan dan perwakilannya ikut mengantar. Begitu juga daerah-daerah yang dilalui yang menandatangani perjanjian persahabatan dengan Barus.

Diantaranya adalah negeri Sihotang, Negeri Siringo-ringo, Negeri Manullang, Negeri Rambe (Pakkat).

Beberapa daerah yang rajanya diangkat oleh Sultan di Barus juga melakukan persembahan. Diantaranya Negeri Panggarutan, Negeri Dairi, Negeri Tombah, Negeri Tukka, Negeri Gomburan. Semua raja-raja yang disebut terakhir ini diangkat atas persetujuan Kesultanan Barus.

Kemudian semua persembahan tersebut dikumpulkan di istana Raja Tuktung. Dan dalam adatnya Raja Jonggi Manoar akan membeli persalin kain kepada Raja Tuktung. Raja Tuktung adalah kerabat Kesultanan Barus yang istananya berada dalam perbatasan wilayah Barus. Kedudukannya sangat dihormati selain sebagai kerabat Kesultanan tapi juga perjalanan menuju Barus harus melalui daerah kekuasaannya.

Setelah memberikan penghormatan kepada Raja Tuktung, maka perjalanan ke wilayah Kesultanan Baruspun dilakukan melalui Pangarabuan terus menuju istana Sultan.

Upacara tersebut selalu dipimpin oleh Raja Jonggi Manoar. Kebiasaan ini bahkan sudah terlembagakan dalam adat. Diyakini tujuan utamanya dahulu adalah motif politik dan ekonomi. Motif politiknya adalah bahwa pihak Kesultanan Barus sangat membutuhkan dukungan politik dan moral kepada kelangsungan Kesultanan. Di lain pihak, kehadiran perwakilan Kesultanan di Toba sangat dibutuhkan sebagai pemimpin dan penengah di tengah-tengah masyarakat Toba yang terpecah-pecah dan selalu bertikai. Kehadiran mereka juga merupakan persyaratan adat dengan keharusan menghadirkan perwakilan dari keturunan Raja Uti agar upacara adat dan agama menjadi sah. Raja Uti sendiri merupakan tokoh spiritual dalam masyarakat Batak. Khusunya bagi kalangan Parbaringin dan Parmalim.

Motif ekonominya adalah untuk menjamin kesinambungan hubungan dagang antar dua komunitas Batak. Daerah Toba merupakan daerah pertanian yang menghasilkan banyak komoditas dagang. Sementara itu, daerah Batak Pesisir merupakan pelabuhan tempat keluarnya komoditas tersebut ke pedagang-pedagang asing.

Lembaga Jonggi Manoar yang dibentuk oleh Sultan Marah Laut merupakan media penghubung antar peradaban Batak di dua kerajaan; Kesultanan Batak di Barus dan Kerajaan Batak Sisingamangaraja.

Penulis sejarah Batak kemudian mengenal Jonggi Manoar sebagai sebuah lembaga perlengkapan adat. Lembaga Jonggi Manoar, menurut Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Komunitas Bambu, Jakarta 2004, Hal 226-228, merupakan tradisi penggambaran pendeta raja. Yang mempunyai hubungan istimewa dengan Raja Uti/Barus.

"Dikatakan bahwa Jonggi Manoar memperoleh kesaktiannya dari Raja Uti lewat pelaksanaan 'somba' sebagai ritual berkala…"

"Bahkan diklaim bahwa di masa lalu semua wilayah Toba mengirim sombanya kepada Raja Uti harus lewat Jonggi Manoar…"

"Menjadi tradisi bahwa setiap Sisingamangaraja baru, selain di upacara-upacara khusus di gelanggang berbagai onan wilayah Toba, utusan Raja Barus selalu diundang hadir sebagai kesempatan mengenalnya, yaitu sebagai pada upacara 'perkenalan' Sisingamangaraja di daerah Humbang."

Namun dengan punahnya kesultanan Barus maka berakhir pula tradisi dan kebiasaan tersebut di atas.

32. Tuanku Raja Kecil Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

33. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627 M

34. Sultan Daeng Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

35. Sisingamangaraja IV (1627-1667)

Dengan nama Tuan Sorimangaraja

36. Sultan Yusuf Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

37. Sisingamangaraja V (1667-1730)

Dengan nama aseli Raja Pallongos.

38. Sultan Adil Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

39. Tuanku Dorong Hutagalung

Pendiri Kerajaan Siboga.

40. Sisingamangaraja VI (1730-1751)

Bernama Raja Pangolbuk memerintah di Bakkara

41. Raja Simorang

Pada tahun 1736-1740, Raja Simorang dari Tapanuli memimpin penduduk Barus, khususnya Sorkam dan Korlang, mengusir VOC, perusahaan Belanda yang banyak meresahkan (monopoli) perekonomian setempat . Mereka dipimpin oleh Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit.

42. Sultan Marah Tulang Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

43. Sisingamangaraja VII,

Dengan nama Ompu Tuan Lumbut memerintah antara tahun 1751-1771

44. Raja Junjungan Tanjung (1757)

Raja Junjungan Tanjung berasal dari Sipultak, Humbang, Toba. Dia berkuasa di Kerajaan Sorkam pada tahun 1757 Masehi. Sebagai sebuah daerah yang otonom dari pengaruh Kesultanan Barus, Sorkam selalu berada dalam bayang-bayang hegemoni raja-raja Barus.


45. Sultan Munawarsyah Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

46. Sisingamangaraja VIII (1771-1788)

Dengan nama Ompu Sotaronggal bergelar Raja Bukit memerintah pada tahun 1771-1788

47. Raja Maiput Tanjung Gelar Datuk Tukang (1778-1792)

Bagian dari Dinasti Tanjung.

48. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

49. Tuanku Sultan Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

50. Sultan Raja Kecil Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

51. Sultan Emas Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

52. Sultan Kesyari pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

53. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

54. Sultan Sailan Pardosi (1241 H)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

55. Sultan Limba Tua Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

56. Sultan Main Alam Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

57. Sultan Perhimpunan Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

58. Sultan Limba Tua Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

59. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819

60. Haji Hassan Nasution

Seorang marga Nasution dengan gelar Qadhi Malikul Adil di Kerajaan Darussalam Minang menjadi orang Batak pertama di abad ke-18 yang naik haji di Mekkah pada tahun 1790

61. Raja Jangko Alam Tanjung Gelar Datuk Rajo Amat (1792-1806)

62. Sultan Ma’in Intan Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

63. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.


64. Fakhruddin Harahap (1802)

Seorang marga Harahap yang berhasil memobilisasi masaa untuk mempertahankan Kesultanan Aru Barumun dari gempuran Aceh. Pada tahun 1802-1816, dia menjadi Raja dengan gelar Baginda Soripada di bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun.

65. Abdul Fatah Pagaran Sigatal: Modernis Suluk (Lahir 1809)

Nama kecilnya Abdul Fatah berasal dari Porlak Tele di Batahan yang masuk dalam wilayah Natal, Tanah Batak Selatan. Menurut riwayatnya beliau wafat pada tahun 1900 dalam usia 91 tahun. Oleh sebab itu tahun kelahirannya diperkirakan pada tahun 1809.

Bersama Lamri dan Barus, Natal merupakan pelabuhan kuno yang telah mendapat sentuhan peradaban Islam dengan nuansa budaya Batak. Selama hidupnya dia berkecimpung dalam mengembangkan organisasi-organisasi suluk yang banyak tumbuh di tanah Batak.


66. Abdul Hakim Datuk Naturihon Tanjung Gelar Rajo Amat I (1806-1841) anak pertama dari Raja Jangko Alam.

67. Kadhi H. Ilyas Penyabungan: Sang Kadhi

Dilahirkan di Sabajior, Penyabungan pada 10 Rabiul Awal 1302 H. Ayahnya bernama H Sulayman.

Dia aktif mengembangkan Makbat Subulussalam sampai akhirnya penguasa Sukapiring memintanya menjadi Kadhi di Sukapiring, Kesultanan Deli. Masa hidupnya dihabiskan untuk membesarkan organisasi al-Jam'iyah al-Washliyah.

68. Syeikh Juneid Thola Rangkuti: Pengasas Philantrophy.

Lahir di Huta Dolok, Huta Na Male, Negeri Maga, Kotanopan. Pada saat itu Huta Dolok masih bernama Pagaran Singkam suatu wilayah yang terletak di kaki Gunung Sorik Marapi.

Sewaktu kecil ayahnya Thola Rangkuti memberinya nama Si Manonga karena lahir dengan kondisi yang sangat sulit.

Sekolah dasar di Maga dan dilanjutkan di Tanobatu yang selesai pada tahun 1906. Semangatnya untuk melanjutkan pendidikannya terinspirasi oleh H, Abdul Malik Lubis, seorang tokoh intelektual lokal di Maga.

Syeikh Juneid merupakan pelopor legiatan wakaf atau filantrofi di Tapanuli. Melalui serangkaian kegiatan dia berhasil mengumpulkan dana untuk mendirikan perguruan pendidikan di Huta Na Male. Di samping itu dia juga mendirikan beberapa lembaga sosial ekonomi dari hasil wakaf yang dikumpulkannya. Di antaranya adalah pasar wakaf di Huta Na Male.

Dengan gerakan wakaf ini, Huta Na Male dan Maga menjadi sebuah negeri dengan perputaran eknomi yang cukup mapan. Beberapa pengusaha lokal pun akhirnya muncul dan menyebar menguasasi ekonomi Tapanuli di berbagai tempat.

Syeikh Juneid dikhabarkan berhasil membangun industri lokal untuk memproduksi peralatan dan barang-barang sandang pangan buatan lokal. Dia sendiri banyak terlobat dalam produksi minyak nabati seperti minyak nilam dan produksi sepatu yang bahan bakunya diambil dari kebun wakaf yang menjadi modal ekonomi masyarakat di Tapanuli. Pembangunan sosial yang madani ini akhirnya diteruskan oleh para generasi penerusnya setelah dia meninggal pada 30 Maret 1948.

69. Muhammad Faqih Amiruddin alias Pongki alias Tuanku Rao

Dia merupakan kerabat Dinasti Sisingamangaraja dan menjadi orang pertama dari lingkungan kerajaan Dinasti Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1812. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga, bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan). Dia meninggal pata tahun 1833.

70. Idris Nasution (wafat 1833)

Merupakan Gubernur daerah Toba pada kepemimpinan Fakih Amiruddin di Tanah Batak yang beribukota di Siborong-borong.

71. Tuanku Tambusai Harahap (w. 1863)

Pahlawan Indonesia dalam melawan penjajah Belanda

72. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841

73. Amir Hussin Hutagalung (Lahir 1819)

Merupakan panglima Faqih Amiruddin di Toba. Dia bergelar Tuanku Saman. Merupakan putera dari Khalifah Abdul Karim Hutagalung, pimpinan tarekat Naqsabandiyah di Silindung. Amir Hussin gugur pada tahun 1837 dalam sebuah upaya mempertahankan tanah air dari penjajah Belanda di Air Bangis.

74. Tuanku Asahan Alias Mansur Marpaung (1820)

Pada 1820, salah satu panglima Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan di pantai timur Sumatera. Kesultanan ini masih berdiri hingga tahun 1947. Anak-anak mereka yang dikenal adalah Tuanku Sri Sultan Saibun Marpaung dan juga Dr. Mansur Marpaung, wali negara NST. Salah satu bawahan Mansur Marpaung adalah Zulkarnain Aritonang, pahlawan dalam perang Tanggabatu pada tahun 1818 mendirikan kerajaan Merbau. Keturunannya menjadi Raja-raja Merbau, Sumatera Timur hingga tahun 1947.

75. Pemasuk Lubis alias Tuanku Maga (w. 1820)

Merupakan menteri pendidikan pada era pemerintahan Fakih Amiruddin

76. Jagorga Harahap alias Tuanku Daulat (w. 1820)

Merupakan Gubernur Pahae Silindung dalam pemerintahan Fakih Amiruddin dan seorang saudagar sukses yang berpusat di Silindung.

77. Tuanku Sorik Marapi Nasution

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

78. Tuanku Mandailing Lubis

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

79. Tuanku Kotapinang Dasopang

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

80. Tuanku Patuan Soripada Siregar

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

81. Tuanku Ali Sakti Siregar

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

82. Tuanku Junjungan Daulay

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

83. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

84. Syeikh Baleo Natal: Menginsafkan Para Raja (Lahir 1825)

Namanya Abdul Malik ayahnya bernama Abdullah dari Muara Mais. Dia dilahirnya pada tahun 1825.

Setelah kembali dari Mekkah, Yang Dipertuan Huta Siantar, Penyabungan meminta Syeikh Abdul Fattah untuk menjadi guru agama di kerajaannya. Namun Syeikh Abdul Fattah tidak dapat memenuhinya karena berbagai kesibukannya dan kemudian menunjuk Syeikh Abdul Malik yang baru kembali dari Mekkah untuk mengisi jabatan tersebut.

Syeikh Abdul Malik berusaha membangun masyakat di Huta Siantar. Karismanya membuantnya banyak di datangi para mahasiswa dari Huta Siantar dan Penyabungan. Dengan usahanya yang pelan tapi pasti beberapa keluarga raja-raja di wilayah tersebut akhirnya diajaknya untuk menghidupkan aktivitas dan kegiatan mesjid. Mula-mula hal tersebut ditentang dan akhirnya mendapat sambutan baik dari elit aristokrat tersebut.

Atas jasa-jasanya tersebut, Syeikh Abdul Malik yang masih sangat belia, dinikahkan dengan puteri Huta Siantar dan diapun menetap di sana. Untuk kedua kalinya, dia berangkat ke Mekkah kali ini beserta keluarganya melalui pelabuhan Natal yang saat itu merupakan pelabuhan internasional yang sangat ramai.

Sekembalinya ke Tanah Air, kharismanya semakin meluas sehingga namanya semakin dikenal dan menjadi acuan dalam argumentasi agama mulai dari Padang Sidempuan, Sipirok, Padang Lawas dan Dalu-dalu. Dengan pengalaman tersebut dia kemudian digelar Baleo Natal sebagai bagian dari usahanya mengajarkan Islam secara tadrij alias berangsur-angsur.

Hubungan mesra dengan penguasa atau raja-raja Huta Siantar bukan tanpa masalah. Berbagai masalah terjadi antara Umara dan Ulama tersebut. Namun hal itu dapat diatasinya dengan langkah-langkah yng tidak merusak kedua kelompok elit tersebut. Para raja semakin kagum dan takjub terhadapnya karena Syeikh juga mempunyai kemampuan dalam pengobatan.

85. Abdullah Salatar Hutagalung (1833)

Merupakan saudagar kaya di Sibolga. Dia merupakan tokoh transportasi laut yang menghubungkan Sibolga dengan Malaysia dan lain-lain

86. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871

Di masa pemerintahannya berhasil disusun Arsip Bakkara yang kemudian dicuri oleh seorang pendeta dari Jerman.

87. Raja Parang Tua Tanjung Gelar Datuk Amat II (1841-1853) Sejak saat ini kekuasan Sorkam terbagi lima ke masing-masing anak Raja Parang Tua.

88. Syeikh Sulayman Al-Kholidy Hutapungkut: Pengasas Organisasi Suluk Tanah Batak (Lahir 1842)

Lahir di Hutapungkut, Kotanopan pada atahun 1842. Ayahnya bernama Japagar, seorang tokoh pemuda yang mempunyai bebraap seni beladiri dan menetap di Sipirok sebagai insinyur yang menguasasi pengolahan logam, khusunya besi.

Dia merupakan mahasiswa Abdul Wahab Rokan serta beberapa ulama lainnya. Dia natara kolega mahasiswanya yang setingkat adalah Syeikh Ibrahim dari Kumpulan Lubuk Sikaping dan Syeikh Ismail dari Padang Sibusuk.

Setamat pendidikanya di menjadi tokoh pembaharu sosial di Padang Lawas dengan ajaran-ajaran tarekat yang dibawanya. Di Padang Lawas dia menjadi intelektual yang menjadi pusat tujuan belajar para pemudan dan tokoh setempat. Salah satu tokoh Padang Lawas yang berguru kepadanya adalah Syeikh Abdul Qadir yang sampa sekarang masih dikenal sebagai pahlawan dalam mengentaskan pendidikan di Padang Lawas.

Tempat kelahirannya Hutapungkut menjadi ramai dengan kunjungan para musafir yang ingin belajar dengannya. Rumahnya menjadi pusat studi dan riset yang menyangkut semua maslahat ummat.

Tak lama kemudian dia mendirikan mensjid di samping rumahnya yang membuat lembaga studi itu semacam perguruan yang menjadi pusat tarekat Naqsabandiyah di Tapanuli Selatan. Pendirian mesjid dan bangunan-bangunan tersebut dilakukan sendiri oleh Syeikh dengan para mahasiswanya dengan bahan baku dari huta-hutan sekita 15 kilometer dari rumahnya. Sehingga, berubahnya Hutapungkut menjadi kota mandiri dan pusat pendidikan di Tapanuli.

Beberapa alumni dari perguruan ini adalah Syeikh Basir dari Pekantan yang dikenal dengan Tuan Basir (Lihat; Pustaha Tumbaga Holing, Tampubolon) di kalangan masyarakat Batak Toba karena Syeikh Basir ini merupakan tokoh yang menjadi penyebar Islam, terutama tarekat atau suluk di seluruh pelosok dan pedalaman Tanah Batak Toba. Organisasi-organisasi suluk di huta-huta di Toba tersebut menjadi kekuatan penting dalam pengusiran penjajah Belanda.

Alumni lainnya adalah Syeikh Husein dari Hutagadang yang menjadi penerus kepemimpinan Naqsabandiyah di Tapanuli Selatan. Alumni lainnya diantaranya; Syeikh Hasyim Ranjau Batu, Syeikh Abdul Majid Tanjung Larangan Muara Sipongi, Syeikh Ismail Muara Sipngi, Syeikh Muhammad Saman Bukit Tinggi dan puteranya sendiri Syeikh Muhammad Baqi.

Salah seorang alumni Hutapungkut, Syeikh Abdul Hamid, menjadi imam dan pengajar di Mesjidilharam Mekkah, sebelum kembali ke Hutapungkut sebagai pemangku Khalifah Naqsabandiyah untuk daerah Tapanuli.

Syeikh Sulayman al-Kholidy sebagai peletak pondasi intelektualisme Tapanuli di Hutapungkut, meninggal 12 Oktober 1917.

89. Tuan Guru Ahmad Zein Barumun: Saudagar Yang Intelektual (Lahir 1846)

Dia merupakan anak dari aristokrat Kerajaan Aru Barumun dari Tanjung Kenegerian Paringgonan, Barumun. Dia dilahirkan di lembah Gunung Malea tepatnya di Pintu Padang Julu pada tahun 1846.

Sebagai anak seorang aristokrat, dia menjadi saudagar yang berkeliling dari satu onan ke onan yang lain di sepanjang Bukit Barisan. Di sela-sela kegiatan ekonominya tersebut, dia meyempatkan diri untuk mempelajari buku-buku ilmu pengetahuan secara otodidak.

Untuk mengembangkan kemampuannya dia merantau ke Tanjung Balai sebuah kota pelabuhan yang banyak ditempati ulama-ulama terkenal saat itu. Di sana dia bermukim dan belajar kepada tokoh-tokh intelektual sampai usia 23 tahun.

Dari Tanjung Balai, dia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menimba ilmu seperti halnya tokoh-tokoh Batak lainnya pada tahun 1869. Dengan kapal layar dia menuju pelabuhan Jeddah dan berguru di beberapa ulama terkenal di Mekkah di antaranya; seorang ulama Batak Syeikh Abdul Kadir bin Syabir yang keturunan Penyabungan, Syeikh Abdul Jabbar keturunan Mompang Mandailing dan Syeikh Abu Bakar Tambusai.

Selain ulama keturunan Batak tersebut, dia juga menimba ilmu dari ulama-ulama Nusantara yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Mukhtar Bogor, Syeikh Umar Sumbawa dan lain sebagainya.

Setelah dua belas tahun di Mekkah di kembali ke Tanah Air dengan mendirikan sebuah institusi pendidikan di Pintu Padang Julu pada tahun 1901. Dengan sistematisasi pendidikan yang digagasnya, dia dapat menelurkan berbagai sarjana dengan metode pendidikan Arab yang modern.

Di Pendidikan tersebut dia juga mengajarkat Tarekat Tahqin al-Zikri ala al-Naqsabandiyah. Dia kemudian meninggalkan Tarekat ini setelah membaca buku 'Izhar al-Kazibin' karya Ahmad Khatib Minangkabau.

Setelah 23 tahun di Pintu Padang dan menjadikannya pusat pendidikan intelektual dan cendikiawan Batak, dia kemudian kembali ke desa nenek moyangnya di Tanjung pada tahun 1924. Di Tanjung dia mendirikan pondok pesantren. Dengan kharisma yang dimilikinya dia berhasil mengembangkan Tanjung, Paringgonan, menjadi pusat studi Islam yang didatangi para mahasiswa dari seluruh penjuru Tanah Batak.

Selama hidupnya, dia terlibat dalam aktivitas-aktivitas perlawanan kepada kekuatan penjajah Belanda. Puncak kegembiraan dalam hidupnya nampak saat kemerdekaan Indonesia. Dia meninggal pada tanggal 10 Oktober 1950.

90. Syeikh Abdul Muthalib Lubis: Tokoh Spiritual Dari Manyabar (Lahir 1847)

Lahir di Manyabar pada tahun 1847 dan wafat pada tahun 1937. Dia berasal dari keluarga miskin yang menggantungkan kehidupan dari pertanian dan beternak kerbau.

Pada umur 12 tahun dia merantau ke Kesultanan Deli. Dan pada tahun 1864 dia berangkat ke Mekkah setelah mendapat bekal yang cukup dari hasil usaha di Medan pada umur 17 tahun bersama abangnya Abdul Latif Lubis.

Dia mengahabiskan waktunya untuk studi di Mekkah sampai tahun 1874. Setelah itu dia musafir dan belajar di Baitul Maqdis, Jerusalem, Palestina dan kembali ke Mekkah, tepatnya Jabal Qubeis untuk belajar Tarekat Naqsabandiyah sampai tingkat Alim.

Padda tahun 1923 dia kembali ke Tanah Air setelah sebelumnya tinggal di Kelang Malaysia dan pulang pergi ke Mekkah. Di Manyabar, dia menggeluti kegiatan sosial dengan membangun kehidupan sosial masyarakat di berbagai tempat di antaranta; Barbaran, Hutabargot, Mompang Jae, Laru, Tambangan, Simangambat, Bangkudu, Rao-rao sampai ke Siladang.

Kegiatan sosial ini sangat menyentuh langsung kepada permasalahan hidup sehari-hari masyarakat di berbagai tempat tersebut. Berbagai persoalan ditujuan kepadanya, mulai dari permasalaha rumah tangga, pekerjaan, kesulitan ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Dari kegiatan tersebut, dia berhasil membentuk masyarakat-masyarakat tersebut untuk berswadaya dalam pembangunan fasilitas uumum dan sosial serta agama sepeti mesjid, fasiltas suluk dan lain sebagainya.

Dalam sebuah kemarau yang sangat panjang, dia berinisiatif untuk mencari mata air dengan melakukan penggalian yang kemudian sangat berguna bagi warga setempat.

Salah satu keistimewaan beliau adalah hibinya melakukan long march yakni ritual berjalan kaki dari sebuah tempat ke tempat lain. Perjalanan itu pernah dilakukan ke Medan, kembali ke Petumbukan, Galang bahkan Pematang Siantar. Dalam perjalanan, mereka aktif menyapa masyarakat dan mencoba memecahkan dan meringankan masalah-masalah keseharian yang dialami penduduk yang dilaluinya. Berkat usahanya tersebut, berbagai masyarakat animisme di pedalaman-pedalamn tanah Batak banyak yang mengungkapkan niat mereka untuk memeluk Islam tanpa ajakan dan paksaan dari siapapun.

Di akhir hidupnya dia membuka sebuah forum diskusi dan pengajian di rumahnya yang selalu dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dan mantan mahasiswanya dari berbagai penjuru antara lain Barbaran, Longat, Gunung Barani, Bunung Manaon, Adian Jior, Penyabungan dan lain-lain.

91. Raja Dusun Derak Alam Tanjung gelar Sultan Maharaja Lela (1853-1872).

92. Syeikh Abdul Hamid Hutapungkut: Sang Reformis (Lahir 1865)

Lahir pada tahun 1865 M, dan merupakan tokoh pembaharu. Sebagai intelektual dia banyak terlibat dalam pengembangn kultur dan budaya di Tapanuli Selatan. Dia merupakan tokoh yang berdiri untuk semua golongan dan tidak mau terlibat dalam ajaran tarekat Naqsabandiyah.

Pada tahun 1918, dia mengembangkan Islam di Pematang Siantar dan menjadi Qadhi di Timbang Galung. Selama dua tahun dia mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat Batak Simalungun, dia kembali ke tanah kelahirannya pada tahun 1920.

Di sana dia mendirikan perguruannya di sebuah mesjid yang dibangunnya dan memperkaya Hutapungkut sebagai kota dengan seribu perguran Islam. Slah satu alumninya adalah Lebay Kodis. Sambil menjadi cendikiawan di perguruan tersebut dia juga terlibat dalam kegiatan politik mengusri Belanda sampai akhirnya dia bergabung dengan Permi dan PSII.

93. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir).

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

94. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, Lahir 1871

95. Raja Muhammad Amin Tanjung gelar Sultan Hidayat (1872).

96. Syeikh Ja'far Hasan Tanjung: Sang Organisator (Lahir 1880).

Lahir di Remburan, Mandailing pada tahun 1880, anak kedua dari dua belas putera-puteri Syeikh Hasan Tanjung.

Sejak kecil dia merantau ke Kesultanan Deli, tepatnya Medan dan tinggal bersama pamannya yang menjadi pengusaha sukses yang bernama H. Hamid Panjang Mise dan mempunyai banyak gerai batik salah satu diantaranya di Kesawan No. 34 Medan.

Pada tahun 1904, dia diutus oleh pamannya tersebut untuk belajar ke Mekkah. Setelah beberapa tahun di sana dia melanjutkan studinya ke Bait al-Maqdis, Jerusalem, Palestina. Dari sana dia melanjutkan kelana pendidikannya ke Kairo.

Pada tahun 1912, dia kembali ke tanah air dan mengembangkan Islam dan pendidikan di Kesultanan Deli, tepatnya di Jalan Padang Bulan 190 Medan.

Dari pengalamannya tersebut dia diangkat menjadi Pemimpin di Maktab Islamiyah Tapanuli, Medan yang berdiri pada 9 Syakban 1336 H. Pimpinan setelah itu adalah H. Yahya, Syeikh Ahmad dan Syeikh M. Yunus berturut-turut.

Dalam perjalanan sejarahnya, rumahnya yang di Padang Bulan tersebut, diserahkannya kepada al-Jam'iyah al-Washliyah yang menjadi organisasi masyarakat muslim di Medan.

Sebagai tokoh masyarakat, dia menunjukkan sebauh kebiasaan baru yang tidak lazim saat itu, bahwa dia tidak mau menerima zakat yang menurutnya ada beberapa ashnaf yang lebih berhak menerimanya.

Sumbangsihnya dalam perjalanan karir politik adalah pendirian organisasi seperti al-Jam'iyah al-Washliyah di Medan.

97. Syeikh Muhammad Yunus Tapanuli: Sang Politikus (Lahir 1889)

Dia merupakan pendiri 'Debating Club'; yang sangat terkenal. Kehidupannya banyak dibahas dalam biografi tokoh-tokoh yang menjadi pentolan melawan penjajah.

98. Syeik Muhammad Yunus Huraba: Tokoh Pembangunan Sosial Sipirok.

Lahir pada tahun 1894 di Huraba, Mandailing. Setelah kuliah di Mekkah dia membangun Sipirok pada tahun 1865 melalui permintaan Namora Natoras setempat. Pembangunan masyarakat Islam di Sipirok dimulai dengan mendirikan mesjid raya serta beberapa bangunan lembaga pendidikan lainnya.

Dengan hadirnya Syeikh di Sipirok, dapat dipastikan bahwa struktur masyarakat Sipirok akhirnya dapat berkembang sesuai dengan masyarakat modern untuk level saat itu.

Sipirok menjadi pusat pendidikan Islam dan banyak ulama yang lahir dari tangannya. Diantaranya adalah Syeikh Syukur Labuo dari Parau Sorat dan anaknya sendiri yang bernama Tuan Syeikh Ahmad Disipirok.

99. H. Mahmud Fauzi Sidempuan (Lahir 1896)

Lahir di Padang Sidempuan pada tahun 1896 dari ayah bernama H. Muhammad Nuh dan Ibunya Hajjah Aisyah. Ibunya Hajjah Aisyah merupakan salah satu intelektual perempuan Batak yang mempunyai jama'at perempuan. Eksistensi Aisyah membuat orang-orang Batak mengenalnya dengan gelar Ompung Guru.

Dilahirkan dengan didikan sang ibu dengan nuansa agama membuatnya cenderung untuk menghayati pendidikan agama. Hal itu dilakukannya dengan berguru kepada Syeikh Abdul Hamid Hutapungkut yang menjadi satu-satunya tokoh Islam di sekitar kawasan tersebut.

Atas kehendaknya sendiri, dia berangkat ke Hutapungkut, center of excelent, dan belajar langsung dengan Syeikh Hutapungkut selama tiga tahun. Pada tahun 1910 dia berangkat ke Mekkah atas dorongan gurunya tersebut.

Ibunya, merupakan pendukung utama pendidikannya di Mekkah. Pada perang dunia pertama dia dikirimi uang sebesar dua puluh lima rupiah untuk biaya kehidupan sehari-hari di Mekkah. Namuan setelah PD I tersebut dia kembali ke Tanah Air pada tahun 1919.

Selama di Tanah Air dia menjadikan Batang Toru sebagai pusat pengembangan pendidikannya. Pada tahun 1926, atas kharisma dan kewibawaannya banyak warga Batak Toba dari pedalaman Tanah Batak yang datang mendengarkan ceramah agama yang diberikannya. Bahkan banyak diantaranya, khususnya dari Porsea dan Balige yang menetap dan mendirikan pemukiman di Batang Toru agar dapat menjadi bagian dari lembaga pendidikan tersebut.

Muhammad Fauzi juga terlibat dalam mengislamkan orang-orang Toba yang berduyun-duyun mendatangi rumah kediamannya untuk menyampaikan keinginan mereka memeluk agama ini.

Bagi para muallaf Toba yang datang dalam jumlah besar ini, Muhammad Fauzi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal sementara sebelum mereka kembali ke kampung halaman masing-masing.

Para Muallaf Toba tersebut, di zaman kemerdekaan banyak yang menjadi pegawai di kementrian agama di Republik Indonesia yang baru berdiri. Selain kegiatan dakwah dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, Muhammad Fauzi juga banyak menulis buku namun sekarang ini sudah banyak yang hilang. Di antaranya yang dapat dicatat adalah Buku 'Menuju Mekkah-Madinah-Baitul Maqdis'.

Jabatan organisasi yang diembannya terakhir sebelum meninggal dunia adalah Rois Suriyah NU di Batang Toru. Selain itu dia juga banyak mewakafkan hartanya untuk jalan dakwah.

100. Syeikh Ismail Bin Abdul Wahab Harahap (Lahir 1897)

Nama lengkapnya, Assyahid Fi Sabilillah Syeikh Ismail bin Abdul Wahab Tanjung Balai. Dia dilahirkan di Kom Bilik, Bagan Asahan, pada tahun 1897 daeri seorang ayah bernama H. Abdul Wahab Harahap dan ibu bernama Sariaman. Ayahnya berasal dari Huta Imbaru, Padang Lawas, Tapanuli Selatan.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar dia melanjutkan pendidikan, khususnya, agama ke salah seorang ulama di Tanjung Balai, kepada al-Marhum Syeikh Hasyim Tua serta beberapa ulama lainnya. Tanjung Balai, selain kota pelabuhan yang sangat ramai, juga merupakan pusat pendidikan agama Islam di Kesultanan Asahan. Para mahasiswa dari berbagai negeri menjadikan Tanjung Balai sebagai tujuan pendidikan, seperti, Kerajaan Kotapinang, Kerajaan Pane dan lain sebagainya.

Pada tahun 1925, untuk melengkapi ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dia berangkat ke Mekkah, yang menjadi pusat pertemuan intelektual-intelektual Islam sedunia. Di sana dia mengembangkan kemampuannya selama lima tahun sambil menunaikan ibadah haji.

Tidak puas dengan standarisasi ilmu di Mekkah, dia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo, Pada tahun 1930. Dia menamatkan berbagai jenjang di antaranya, Aliyah, Alimiyah, Syahadah Kulliah Syar'iyah dan Takhassus selama dua tahun.

Syahadah Aliyah saat itu setingkat dengan sarjana. Alimiyah setingkat dengan master. Syahadah Kulliah Syar'iyah merupakan pendidikan spesialisasi. Takhassus merupakan pendidikan tingkat Doktor sesuai dengan kurikulum Islam saat itu.

Pendidikan yang sangat lama itu tidak memjadi halangan baginya, walau dengan pengorbanan meninggalkan putrinya yang masih kecil, bernama Hindun, yang lahir sesaat sebelum dia berangkat di Mekkah.

Aktvitasnya tidak saja dicurahkan untuk penguasaan ilmu, dia juga aktif dalam politik untuk menentang kolonialisme. Berbagai kegiatan tersebut mengantarnya menjadi Ketua 'Jamiatul Khoiriyah', sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Mesir.

Perjuangan melawan kolonialisme tersebut diperluas ke segenap puak Melayu yang berada dalam terkaman bangsa kolonial. Diapun terpilih menjadi Ketua Persatuan Indonesia Malaya selama tiga tahun. Selama kepemimpinannya dia berhasil membangun solidaritas dan nasionalisme di jiwa para pemuda Indonesia dan Malaysia yang belajar di Mesir.

Di Tanah Air, gaung nasionalisme tersebut semakin menjalar di kedua negara, sehingga nama Parpindom, akromin organisasi mereka tersebut, memberi harapan yang sangat jelas mengenai nasib bangsa yang terjajah itu.

Kesadaran politik di Indonesia dan Malaysia semakin berkembang pesat, saat beberapa tulisannya terbit di majalah-majalah di kedua negara. Majalah Dewan Islam, Medan Islam dan lain-lain, merupakan corong politik baginya yang menimbulkan kepercayaan diri bagi bangsa pribumu dengan nama samaran di koran; "Tampiras".

Perjuangan selama tiga belas tahun di luar negeri, membuatnya terkenal saat pulang meninggalkan Port Said, Mesir ke Indonesia via Singapura, sebuah provinsi Malaya saat itu.

Jumat, 28 November 1936, dia kembali ke tanah air melalui Pelabuhan Teluk Nibung tepat pukul 15.45, dengan menumpang Kapal Kampar dari Bengkalis.

Kedatangannya, tanpa diduga-duga telah diketahui oleh masyarakat Tanjung Balai. Sehingga, secara spontan, masyarakat yang rindu dengan jiwa perjuangan tersebut menyambutnya di pelabuhan dengan lagu-lagu perjuangan, Tala'ah Badru Alaina.

Diapit oleh adiknya Zakaria Abdul Wahab Harahap yang menjemputnya di Bengkalis, dia mendekati satu persatu masyarakat yang menyambutnya dengan sebuah kehangatan akan harapan untuk membela harga diri bangsa dari kezaliman penjajah.

Dapat dipahami kedatangannya ke Tanah Air kemudian dipersulit oleh penjajah Belanda, sehingga beberapa persoalan dan kesulitan juga menyambutkan bersama sambutan hangat dan menggebu-gebu dari masyarakat untuk tokoh pergerakan nasional ini.

Namun, kewibaan dan kesabaran yang ditunjukkannya membuatnya dapat bertaham dan kemudian mendirikan sebuah institusi pendidikan dengan nama "Gubahan Islam". Yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Tanjung Balai. Beberapa tokoh setempat berlomba-lomba menbantunya seperti H. Abdur Rahman Palahan dan H. Abdul Samad.

Beberapa kali insiden yang mengarah kepada kekacauan sosial diciptakan oleh intel-intel penjajah untuk membuat gap antara masyarakat dengan lembaga pendidikan tersebut. Namun setiap kali itu pula si Harahap ini berhasil mengatasinya dengan karisma yang terletak di pundaknya.

Pendidikan yang diterapkannya di perguruan tersebut semakin lama semakin meningkat. Beberapa tahap dan level pendidikan didirikan untuk memenuhi permintaan masyarakat. Level pendidikan umum, dewasa, dan juga pendidikan politik bagi aktivis-aktivis kemerdekaan.

Namun, sebagai seorang pemikir dan intelektual, kegiatannya tidak terpaku pada kegiatan ajar-mengajar. Dia juga terlibat dalam riset dan penelitian demi memajukan sistem sosial masyarakat di Tanjung Balai. Beberapa hasil riset dan pemikirannya tersebut tertuang dalam beberapa buku, antara lain "Burhan al-Makrifah". Artikel-artikelnya dimuat di hampir semua koran-koran di berbagai kerajaan dan kesultanan, yang sekarang menyatu menjadi Sumatera Utara.

Beberapa kali Belanda mengeluarkan perintah rahasia untuk membungkamnya. Beberapa peraturan baginya dibuat khusus termasuk larangan untuk mengajar.

Paska kemerdekaan RI, nasionalisme di Tanjung Balai mencapai puncaknya. Dia diangkat menjadi Ketua Nasional Kabupaten Tanjung Balai, untuk menegaskan kemerdekaan RI dari belenggu kolonialisme Belanda.

Di Tebing Tinggi, dia menggalang solidaritas sesama ulama se Sumatera Timur pada tahun 1946 dan merumuskan beberapa fatwa untuk membantu ummat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ibadah yang mereka hadapi.

Maka tidak heran, rakyat di Sumater Timur sangat merindukan kehadirannya saat dengan lantang menunjukkan keberaniannya untuk menurunkan bendera Jepang di Kantor Gun Sei Bu di Tanjung Balai. Sesuatu yang menurut orang banyak sebagai tindakan yang sangat nekat untuk ukuran zaman penjajahan Jepang yang otoriter tersebut.

Di sela-sela tanggung jawab sosial yang diembannya, dia masih bersedia untuk diangkat menjadi Penanggung Jawab sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Nasional "Islam Merdeka" yang kemudian diubahnya menjadi Majalah "Jiwa Merdeka".

Untuk mengisi kekosongan birokrasi dari kurangnya SDM Sumatera Timur saat itu, Gubernur Sumatera, Mr. T. M Hasan memintanya untuk menjadi Kepala Baitul Mal Jawatan Agama pada tahun 1946, yang berkedudukan di Pematang Siantar.

Paska kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali lagi dalam sebuah agresi militer yang dikenal Agresi Belanda I pada tahun 1947. Dia yang menjadi target operasi Belanda akhirnya memutuskan untuk mengungsi ke Pulau Simardan. Enam hari setelah agresi tersebut dia menungunjungi rumahnya di Jalan Tapanuli, Lorong Sipirok, Tanjung Balai untuk mengambil perbekalan. Jam 10.00 pagi dia ditangkap oleh Belanda.

Dengan dakwan telah memprovokasi pemuda Indonesia untuk merdeka dia ditembak mati oleh Belanda pada hari Minggu 24 Agustus 1947 pukul 11.00. Dia tewas dalam umur 50 tahun dan dikuburkan di penjara Simardan.