Ketiga isterinya dengan panggilan nama anaknya lebih terkenal
daripada Tuan Sorimangaraja sendiri, hal ini terjadi karena Tuan
Sorimangaraja adalah orang tidak betah berdiam diri, dia berkelana dari
satu daerah ke daerah lain sambil memberikan pengobatan kepada
orang-orang yang memerlukan kepintarannya.
Isteri ke 3 Tuan Sorimangaraja yaitu Siboru Sanggul Haomasan lebih
duluan melahirkan daripada isteri ke 2
(Siboru Biding Laut), karena
itu Siboru Biding Laut selalu bermuram durja dan selalu “mangandung”(meratap).
Dalam “andungnya” sering sekali keluar kata-kata penyesalan, kata-kata
putus asa, karena pada masa itu seorang wanita yang sudah kawin belum
dianggap sebagai perempuan apabila belum melahirkan keturunan untuk
menyambung tali kehidupannya. Kendati sudah lama kawin, Mulajadi Nabolon
Debata Natolu belum memberikan Siboru Biding Laut keturunan untuk
membuktikan dia sebagai perempuan yang sempurna. Tentunya sekarang
pikiran seperti itu sudah bukan zamannya lagi, tidak mempunyai keturunan
tidak semata-mata karena kekurangan isteri, bisa juga si suami, kendati
demikian masih ada juga orang, khususnya orang Batak yang masih
menganut pemikiran manusia zaman dulu, dan itu dijadikan pembenaran
untuk berpoligami.
Demikianlah Siboru Biding Laut, setiap hari sebelum matahari terbit,
dia sudah pergi ke pinggir danau, siang hari bernaung di bawah pohon
besar “beringin na mardangka tu langit”, di malam hari selalu menyendiri
“songon tandiang na hapuloan”. Tidak pernah terlihat ceria di wajah
Siboru Biding Laut.
( Khusus Perkawinan antara Tuan Sorimangaraja dengan Siboru Biding Laut akan dibahas lebih lanjut pada Episode
SEJARAH DAN LEGENDA MARGA-MARGA KELOMPOK NAIRASAON. )
Sebagaimana diceritakan bahwa Siboru Biding Laut lama tidak diberikan
keturunannya, dalam keputus asaannya di menceburkan diri ke danau,
tetapi dia tidak tenggelam. Tubuhnya terombang ambing di danau kian
kemari, dipermainkan ombak seperti nasib yang mempermain-mainkan
kehidupannya. Entah berapa lama dia terobang-ambing sampai akhirnya
terdapar di daratan, begitu sadar dia memandang nanar ke kejauhan, ke
arah Dolok Pusuk Buhit.
Ternayata Tuan Sorimangaraja sedang mencarinya di sekitar
Sianjurmulamula, karena tidak ketemu, diapun menyeberangi danau sambil
“martonggo” agar Mulajadi Nabolon menyelamatkan “persinondukna” Siboru
Biding Laut.
Doanya terkabul, diseberang danau dia menemukan Siboru Biding Laut
dalam kebingungannya, dia membawa isterinya kea rah “habinsaran”.
Disuatu tempat yang dirinya subur, Tuan Sorimangaraja mendirikan
(mamukka) pemukiman bagi mereka.
Tetapi memang dasarnya Tuan Sorimangaraja yang tidak pernah bisa
berdiam diri, diapun meninggalkan perkampungan mereka, berkelana entah
kemana.
Anak Tuan Sorimangaraja, si Ambaton dan si Suanon tumbuh berkembang
tanpa pengasuhan ayahnya, demikian juga dengan si Rasaon yang kemudian
dilahirkan dari rahim Siboru Biding Laut (dalam Episode
SEJARAH DAN LEGENDA MARGA-MARGA KELOMPOK NAIRASAON)
Mereka tumbuh jadi pemuda yang mandiri. Karena Tuan Sorimangaraja
sangat jarang bertemu dengan mereka, demikian juga dengan orang-orang
yang ada di sekeliling tempat mereka tinggal, maka ketika ada yang
bertanya siapa pemuda-pemuda yang gagah tersebut, maka yang lain selalu
menjawab : anaknya Nai Ambaton untuk si
AMBATON, anaknya Nai Suanon untuk si
SUANON, anaknya Nai Rasaon untuk si
RASAON.
Bermula dari panggilan-panggilan tersebut, akhirnya orang lain lebih
mengenal mereka dan keturunannya kemudian dengan sebutan NAIAMBATON,
NAIRASAON dan NAISUANON. Keturunan mereka menjadi kelompok marga-marga
di kemudian hari.
Dengan demikian maka kelompok marga-marga Batak
menjadi 5 induk, yaitu :
- Kelompok LONTUNG, untuk keturunan si Raja Lontung anak Sariburaja dengan Siboru Pareme;
- Kelompok BORBOR, untuk keturunan Limbong Mulana,
Sagala Raja, Silau Raja ( Malau Raja ) dan siRaja Borbor anak
Sariburaja dengan Nai Mangiring Laut, sekarang ini sering disebut dengan
BORBOR MARSADA.
- Kelompok NAIAMBATON, untuk semua
keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri pertama Siboru Anting Sabungan
( Siboru Paromas ), sekarang ini sering disebut dengan PARNA ( Parsadaan Naiambaton/ Pomparan Naiambaton).
- Kelompok NAIRASAON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri kedua SIBORU BIDING LAUT, yang adalah adik kandung si Boru Paromas.
- Kelompok NAISUANON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri ketiga SIBORU SANGGUL HAOMASAN.
Dari 5 kelompok marga-marga tersebutlah penyebaran marga-marga yang
kita kenal sekarang ini, tetapi dengan pertanyaan : Bagaimana dengan
keturunan
RAJA ASIASI dan
SANGKARSOMALIDANG?
Menurut cerita, kedua anak Raja Isumbaon tersebut pergi ke arah Dairi
dan ke kaki Gunung Sibayak (Karo), dan dari keturunan merekalah
marga-marga yang ada sekarang di daerah itu.
Pada cerita berikut, tidak semua marga-marga akan diterangkan, dan
kebenaran dari cerita-cerita itu kembali kepada masing-masing marga,
karena pada dasarnya Legenda adalah cerita rekaan (khayalan) yang bisa
benar bisa tidak, tetapi paling tidak cerita tersebut pernah beredar di
tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang sangat penting menjadi pijakan dalam mengikuti cerita Legenda adalah :
TIDAK LEBIH DAHULU APRIORI/KONTRA,
apabila cerita tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita tau atau
pernah kita dengar. Penolakan terhadap legenda akan menbuat kita tidak
akan dapat mendalami dan memahami nilai-nilai yang tersembunyi pada
cerita tersebut.
Perlu juga disepakati, bahwa penulisan cerita/legenda ini bukan untuk
mengurangi keimanan seseorang dan bukan pula mengajak pembaca untuk
kembali ke “hasipelebegu on “ karena nilai-nilai pada cerita/legenda
Batak adalah filsafat, berbeda dengan nilai-nilai religi.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA LONTUNG.
Konon, si Raja Lontung sepeninggal ayahandanya berpetualang, hidup
berdua dengan ibunya Siboru Pareme ditengah hutan. Ketika sudah makin
dewasa, Siboru Pareme menuruh anaknya untuk berumah tangga dan pergi ke
rumah tulangnya ke Sianjurmulamula, dia berpesan agar mencari paribannya
untuk dijadikan isteri yang wajah mirip dengan wajah ibunya.
Si Raja Lontung pun mengerti pesan ibunya, diapun beranhkat menuju
Sianjurmulamula sebagaimana dipesankan karena disanalah tempat tinggal
tulangnya. Namun di tengah jalan dia bertemu dengan seorang wanita yang
benar-benarpinang dibelah dua dengan ibunya Siboru Pareme. Dia pun
berpikir bahwa wanita inilah paribannya yang diceritakan ibunya, maka
dengan sangat antusias diapun menyampaikan maksud dan tujuannya (tembak
langsung). Si wanita sama sekali tidak memberikan penolakan, karena
memang dia adalah Siboru Pareme yang tak lain ibu dari si Raja Lontung.
Dia telah merencanakan semua itu, ketika si Raja Lontung pergi seperti
yang dia minta untuk menemui tulangnya di Sianjurmulamula, Siboru Pareme
mengambil jalan pintas mendahului si Raja Lontung ke suatu tempat yang
pasti harus dilalui si Raja Lontung.
Setelah melakukan hubungan terlarang dengan “ito”nya Tuan Sariburaja,
sekarang hubungan terlarang (incest)dilakukan dengan anaknya sendiri (
Hampir sama dengan cerita Sangkuriang di daerah Parahyangan).
Raja Lontung mempunyai 7 anak laki-laki dan 2 anak perempuan dari
perkawinannya dengan Siboru Pareme yang kemuadian menjadi marga sampai
sekarang, yaitu :
1.Toga Sinaga
2.Toga Situmorang
3.Toga Pandiangan
4.Toga Nainggolan
5.Toga Simatupang
6.Toga Aritonang
7.Toga Siregar
Sedangkan ke 2 putrinya
- Si Boru Anak Pandan kawin dengan Sihombing dan
- Siboru Panggabean kawin dengan Simamora,
keduanya adalah anak
Toga Sumba ( cucu dari Tuan Sorbadibanua/ si Suanon).
Sampai sekarang masih ada perbedaan pendapat tentang anak tertua si
Raja Lontung, apakah Toga Sinaga atau Toga Situmorang. Sebagian orang
mengatakan bahwa Toga Sinagalah yang tertua, tetapi Toga Situmorang
lebih duluan kawin dengan boru Limbong, sedangkan Toga Sinaga belum
juga. Karena belum mendapat wanita untuk isterinya, Sinaga berkata
kepada Situmorang supaya dicomblangi (dipadomu-domu) dengan adik
isterinya. Situmorang berkata, bisa saja asal kau memanggil abang kepada
saya, Sinaga pun setuju. Jadilah Sinaga kawin dengan adik isteri (adik
ipar) Situmorang, dan oleh karena itulah antara Sinaga dan Situmorang
saling memanggil abang pada acara-acara tertentu. Sinaga menjadi abang
dari Situmorang karena lebih duluan lahir (anak tertua) dari si Raja
Lontung, lazim juga disebut sebagai
“ haha partubu”, sedangkan Situmorang menjadi abang karena isteri Sinaga adalah adik dari isterinya, lazim juga disebut sebagai
“ haha ni parrajaon” karena menjadi si abangan pada acara adat
“hula-hula mereka marga Limbong”.
Seperti sudah pernah disebutkan sebelumnya, marga pertama dalam
masyarakat Batak adalah Limbong dan Sagala. Kalau dalam penyusunan
Tarombo/Silsilah
- si Raja Batak ditempatkan pada generasi Pertama (I ),
maka
- marga Limbong dan Sagala ada pada generasi III dan
- Malau (anak
Silau Raja ) pada generasi ke IV.
- Tuan Sariburaja adalah adik dari
Limbong sama-sama generasi III, maka
- si Raja Lontung adalah generasi ke
IV.
Anak –anak si Raja Lontung yang sudah menjadi marga sampai saat ini
adalah generasi V. Dengan demikian marga-marga pada kelompok marga
Ilontungan dimulai pada generasi ke V
.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA BORBOR.
Si Raja Borbor sama halnya dengan si Raja Lontung adalah generasi ke
IV. Si Raja Borbor kawin dengan putrid Jau. Putri Jau yang dimaksud
disini bulanlah si Jau yang menjadi pewaris marga-marga di Nias, tetapi
karena tidak diketahui darimana asal usulnya. (sekali lagi membuktikan
bahwa pada saat itu sudah ada manusia lain selain keturunan si Raja
Batak ).
Banyak versi yang menjelaskan keturunan si Raja Borbor, tetapi dalam
konteks ini tidak akan dibahas perbedaan=perbedaan tersebut, karena pada
dasarnya perbedaan-perbedaan itu telah menjadikan keturunan si Raja
Borbor makin kuat ikatan persaudaraannya dalam
IKATAN BORBOR MARSADA.
Anak dari si Raja Borbor sebagaimana yang diakui dalam Ikatan Borbor Marsada (masuk pada generasi ke V ) adalah :
1. Raja Hatorusan
2. Tuan Sidamanik
3. Datu Singar Harahap
4. Parapat
5. Matondang
6. Sipahutar
7. Sitarihoran
8. Gurning
9. Rambe
10. Sarusuk
Kendati pada generasi ke V sudah menjadi Marga yang ada sekarang,
tetapi ada juga marga pada saat itu menurunkan marga yang lebih muda
pada generasi VI, VII dan seterusnya sampai generasi XIV, contohnya
marga
HUTASUHUT yang merupakan keturunan dari marga
HARAHAP adalah genarasi XIV dari si Raja Batak.
Sampai dengan saat ini, marga-marga yang tergabung dalam Ikatan
Borbor Marsada tetap terjalin persaudaraan yang erat, baik di
bonapasogit maupun di parserahan, mereka menganut istilah “sijolojolo
tubu” yaitu : si sada lulu anak si sada lulu boru.Ke dalam kelompok Ikatan Borbor Marsada ini termasuk juga keturunan dari
LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, SILAU RAJA (MALAU RAJA ).
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI AMBATON.
Sumber marga-marga yang tergabung dalam Nai Ambaton
( Parna )
ada beberapa versi, ada yang mengatakan bahwa anak Nai Ambaton yaitu
Tuan Sorbadijulu mempunyai satu anak yaitu Suliraja, ada pula yang
mengatakan bahwa anak Tuan Sorbadijulu mempunyai 5 orang anak, dan ada
pula yang mengatakan 4 anak laki-laki dan 1 perempuan.
Versi yang mengatakan 5 orang menggabungkan Sinahampang sebagai anak
langsung dari Tuan Sorbadijulu, sedangkan versi lain mengatakan,
Sinahampang adalah anak dari Simbolon Tua.
Kebenaran versi yang dipakai oleh pihak Parna biarlah mereka yang
lebih mengetahui, jangan menjadi perdebatan yang tidak berarti, tetapi
penulis disini mengetengahkan versi yang mengatakan bahwa anak Tuan
Sorbadijulu adalah 4 dan 1 perempuan.
Pada kelompok marga Parna, pemakaian marga yang ada sekarang ini
dimulai dari generasi ke V dari si Raja Batak, yaitu marga Simbolon,
Tamba, Saragi dan Munte.
Dari ke 5 marga di atas melahirkan marga-marga baru hingga sekarang
ini, yang merupakan marga paling banyak dalam satu kelompok marga dan
masih teguh menganut paham “sisada lulu anak sesada lulu boru”, artinya
belum ada sesama marga dalam kelompok marga Parna yang sudah saling
mengawini.
- Anak perempuan Tuan Sorbadijulu adalah siboru Pinta Haomasan, diperkirakan inilah yang menjadi istri pertama dari Silahisabungan yang melahirkan Silahiraja.
-
- Dari keturunan Simbolon Tua yang sudah menjadi marga ( Simbolon ) lahir marga-marga baru yaitu : Tinambunan, Tumanggor, Maha, Pinayungan, dan Nahampun.
-
- Dari keturunan Tamba Tua yang sudah menjadi marga (
Tamba ) lahir marga-marga baru yaitu: Siallagan, Rumahorbo, Napitu.
-
- Dari
salah seorang buyut Tamba Tua dari cicitnya Datu Parngongo adalah Guru
Sojoloan atau juga sering disebut Guru Sitindion, dari sini melahirkan
marga-marga baru yang sekarang ini lebih sering disebut Siopat Ama, yaitu marga : Sidabutar, Sijabat, Siadari dan Sidabalok.
- Dari keturunan Saragi Tua yang sudah menjadi marga
(Saragi) lahir marga-marga baru yaitu : Simalango, Saing, Simarmata,
Nadeak, Sidabungke juga marga-marga yang ada di Dairi/Phakpak dan Karo
seperti : Basirun, Bolahan, Akarbejadi, Kaban, Jurung dan Telun.
-
- Dari Saragi Tua ini juga yang menjadi marga-marga klan Parna yang ada
di Simalungun seperti Saragih Sumbayak, Saragih Garingging, Saragih
Turnip, Saragih Dajawak, Saragih Dasalak. Kesemuanya itu, tempat leluhir
mereka adalah dari Toba ( Samosir). Percabangan-percabangan marga ini
berkembang juga sampai ke tanah Karo.
-
- Dari keturunan Munthe Tua yang sudah menjadi marga (
Munthe ) lahir pula marga-marga baru yaitu : Sitanggang, Sigalingging,
Manihuruk, Sidauruk, Turnip dan Sitio.
-
- Tetapi ada pula dari keturunan
Munthe Tua yang lain melahirkan marga-marga baru yang ada di Simalungun,
Karo, Dairi/Phakphak, seperti Ginting Munthe, Dali Munthe, Tendang,
Banuarea, Beringin, Gaja dan Berasa.Sampai saat ini, apabila orang berkenalan dan sama-sama merupakan
keturunan dari Nai Ambaton (Parna), mereka akan merasa seperti saudara
sendiri, dan tetap menganut paham Batak “ Sisada lulu anak sisada lulu boru”.
Dari sekian banyak jumlah marga Batak ( Toba, Karo, Simalungun,
Mandailing, Dairi/Phakphak), boleh dikatakan 20% masuk dalam klan Nai
Ambaton ( Parna ). Pernah dulu ada anekdot kalau ada laki-laki dan
perempuan yang sudah tua dan belum kawin disebut….. “sai songon Nai
Ambaton “, artinya saking banyaknya marga-marga yang tidak boleh saling
kawin yang masuk dalam kelompok Nai Ambaton, para anak – borunya sulit
mendapat jodoh, sampai tua belum kawin sehingga yang lambat kawin
diibaratkan dengan Nai Ambaton.
Kalau kita amati dalam tarombo-tarombo Batak, maka permulaan marga
yang tergabung dalam kelompok Nai Ambaton ( Parna ) dimulai pada
generasi ke V hingga generasi ke XII dari si Raja Batak. Jadi masih ada
yang termasuk marga-marga muda.
Banyak legenda dan cerita yang terjadi pada sejarah Parna sampai sekarang, antara lain Legenda
Tabu-tabu Gumbang, siboru Sileang Nagarusta, Marhati Ulubalang, Raja Sidabutar yang terkenal sampai sekarang dengan makamnya, maupun
Sibatu Gantung di Sibaganding Parapat.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI SUANON.
Nai Suanon semasa gadisnya bernama
Siboru Sanggul Haomasan, adalah istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang melahirkan si Suanon. Setelah dewasa, si Suanon digelari Tuan Sorbadibanua.
Sama halnya dengan Siboru Biding Laut istri kedua Tuan Sorimangaraja,
Siboru Sanggul Haomasan juga sulit mendapat keturunan. Disuatu waktu,
Siboru Sanggul Haomasan berjalan-jalan ditepi hutan, bertemu dengan
seorang wanita tua yang tidak tau darimana datangnya. Ketika si wanita
tua bertanya kepada Siboru Sanggul Haomasan, dia tidak bisa menjawab
dengan tepat pertanyaan itu, lalu kata si wanita tua :
“ Tardok
do ho boru ni raja namalo jala na bisuk, alai tung sungkun-sungkun hi
dang taralusi ho onpe ingkon bernitdo parniahapanmu paima-ima tunas ni
siubeonmu”. ( Kau termasuk putri raja yang pintar dan bijaksana,
tetapi pertanyaanku tak dapat kau jawab, jadi ingatlah akan susah engkau
mendapatkan keturunan.)
Setelah berbagai usaha, martonggo (berdoa) kepada Mulajadi Nabolon,
akhirnya datanglah pesan kepada Tuan Sorimangaraja bahwa dia akan
memperoleh keturunan dari Siboru Sanggul Haomasan apabila dapat
menemukan semua persyaratan yang disampaikan Mulajadi Nabolon melalui
Borusibasopaet, adapaun syarat yang harus ditemukan Tuan Sorimangaraja
adalah :
1. Sebatang kayu besar yang dapat mendirikan sebuah rumah, kayu itu ditemukan di Daerah Angkola (Tapanuli Selatan sekarang ).
2. Hati besi untuk ditempa jadi pisau sakti, dapat ditemukan di sungai Buarbuar dekat Barus ( Tapanuli Tengah sekarang).
3. Kerbau sitikko (melingkar) tanduk, si opat pusoran, sijambe ihur sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon.
Setelah terpenuhi, diadakanlah upacara martonggo, diiringi bunyi
Gondang Sabangunan. Tuan Sorimangaraja dan istrinya Siboru Sanggul
Haomasan didaulat untuk menari. Persembahan dan doa Tuan Sorimangaraja
diterima Mulajadi Nabolon.
Tiba waktunya, istrinya Siboru Sanggul
Haomasan melahirkan seorang anak yang dinamai si
Suanon ( Tuan Sorbadibanua).
- Tuan Sorbadibanua setelah kawin mendiami (tinggal ) di Lumban Gorat (dekat daerah Balige sekarang ), sedangkan saudaranya yang lain yaitu
- Tuan Sorbadijulu tinggal di Pangururan (Samosir) dan
- Tuan Sorbadijae tinggal di Sibisa (Uluan).
Si Suanon atau Tuan Sorbadibanua kawin dengan
Nai Anting Malela tetapi lama tidak punya anak. Menurut
“datu” dia akan beroleh anak apabila, Nai Anting Malela akan memperoleh keturunan apabila
“marimbang matua” ( bermadu ).
Mendengar itu, suka tidak suka Nai Anting Malela mengijinkan Tuan
Sorbadibanua untuk kawin lagi. Masalahnya, perempuan yang akan dinikahi
yang sulit di dapat. Saking gusarnya, Tuan Sorbadibanua meminta ijin
untuk berburu di hutan untuk melupakan segala
“parsorion”
yang dialaminya. Dalam perburuannya, tak satupun binatang buruan yang
didapat, akhirnya dia tertidur di bawah sebatang pohon besar. Dalam
tidurnya, diantara sadar dan mimpi dia didatangi sesosok wanita cantik
namun ketika tersadar, tak ada bekasnya, bayangannyapun tidak, namun
lapat-lapat terdengar olenya suara yang berkata :
"Percikkanlah
ramuan obat yang kamu bawa ke kiri dan ke kanan masing-masing sebanyak 7
kali lalu melangkahlah engkau ke-arah kanan".
Tuan
Sorbadibanua menuruti perintah suara tersebut, entah darimana datangnya
tiba-tiba terlihat olehnya seorang wanita berparas ayu, merekapun
bertegur sapa dan berkenalan, perempuan itu bernama
BORU SIBASOPAET. Tuan Sorbadibanua pun membawa perempuan itu ke kampungnya untuk dijadikan madu Nai Anting Malela.
Mengenai istri kedua Tuan Sorbadibanua ini menurut legenda adalah manusia hutan yang tidak punya saudara (
mapultak sian batu madabu sian langit
). Dia menerima pinangan Tuan Sorbadibanua dengan syarat jagan
sekali-kali menyebut dia putri dari hutan belantara yang tidak punya
“hula-hula” yang tidak punya saudara. Syarat tersebut disetujui Tuan
Sorbadibanua.
Legenda lain mengatakan, Boru Basopaet adalah manusia biasa yang
tersesat di hutan ketika terpisah dari rombongannya. Mereka berasal dari
tanah
Jau ( Jawa ) bersama rombongan pasukan
Majapahit yang dipimpin oleh
Raden Wijaya datang ke pinggiran danau Toba di dekat Balige sekarang, Boru Basopaet sendiri adalah adik perempuan Raden Wijaya.
Kedatangan pasukan Majapahit ke Pulau Morsa ( Andalas/Sumatera )
adalah dalam rangka memperluas wilayah kerajaan. Mereka sampai di tepian
danau Toba setelah menaklukkan kerajaan Sriwijaya di Palembang,
kerajaan Batanghari di Jambi sekarang, Kerajaan Portibi dan Muara Takus
di perbatasan Tapanuli Selatan, Jambi dan Sumatera Barat sekarang.
Di daerah yang ditaklukkan tersebut, pasukan Majapahit mendirikan
candi sebagai pertanda mereka pernah menguasai wilayah itu, antara lain
Candi Portibi dan Candi Muara Takus. Sampai sekarang kedua candi
tersebut masih ada walau kurang terawat.
Setelah perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Basopaet, mereka
mencari-cari rombongan dari Kerajaan Mojopahit, merekapun bertemu.
Mengetahui adeknya telah kawin dengan Tuan Sorbadibanua, Raden Wijayapun
menjalin hubungan persaudaraan dengan Tuan Sorbadibanua. Mereka menjadi
teman akrab.
Pada setiap wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan Mojopahit, mereka
membawa para pemuda yang ada, dipilih yang gagah berani dan dijadikan
pasukan kerajaan.
Pada suatu kesempatan, Raden Wijaya berbincang-bincang dengan
“laenya” Tuan Sorbadibanua, dia berkeinginan mencari pemuda gagah berani
untuk dijadikan prajurit perwira. Tuan Sorbadibanua mengajukan salah
seorang
ponakannya ( berenya) yang bernama
si GAJA
untuk dilatih menjadi prajurit. Dia seorang yang tampan gagah, tubuhnya
besar tapi sangat nakal, ada-ada saja ulahnya yang membuat orang lain
selalu menghindar kalau bertemu dengannya, tak ada yang berani melawan
karena disamping tubuhnya yang besar dia juga memiliki kesaktian. Ketika
ditawarkan kepadanya, dengan sangat sukacita dia menerima, maka
berangkatlah dia bersama pasukan Majapahit yang pulang ke Jayadwipa.
Di kerajaan Majapahit, si Gaja dapat menempatkan diri, dia berlatih
dengan tekut dan bersemangat. Karena dasarnya dia sudah memiliki
kesaktian, maka “Diklat” prajurit yang diikutinya berjalan lancer, malah
dikesempatan-kesempatan tertentu dialah yang menjadi pelatih para
prajurit yang lain.
Si Gaja menjadi prajurit yang disegani ditengah-tengah pasukan
kerajaan. Bersama si Gaja banyak juga pemuda-pemuda gagah dari Pulau
Morsa (Sumatera) yang dibawa Raden Wijaya untuk dijadikan prajurit
kerajaan, karena sudah kenal sejak semula dengan si Gaja, mereka sering
latihan bersama, berperang bersama.
Sudah disebutkan di atas, si Gaja ini orang yang suka usil dan nakal,
kendati sudah berada di kerajaan Majapahit keusilan dia tidak
berkurang, malah dengan tambahan ilmu yang didapatnya bertambah juga
kenakalan-kenakalannya, namun sering juga dia lebih duluan bertanya
kepada teman-temannya yang berasal dari Sumatra apa yang akan mereka
lakukan. Teman-temannya berkata :
GAJAIMADA ISI.
Artinya: perbuatlah sesukamu disitu.
Orang-orang atau prajurit yang
berasal dari wilayah lain yang mendengar pembicaraan mereka berpikir
bahwa sebutan itu ditujukan sebagai panggilan kepada si Gaja yang mereka
kenal gagah berani sehingga berkesimpulan bahwa nama prajurit perwira
ini adalah :
GAJAMADA.Sejak itu Gajamada itu menjadi panggilan resminya.
Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa si Gaja kawin dengan
gadis dari Pulau Dewata ketika pasukan Majapahit menaklukkan salah satu
kerajaan di pulau itu. Perempuan itu bernama si
MADE, dan dari perkawinan mereka memperoleh anak yang biberi nama
GAJAMADE,
yaitu perpaduan antara nama si Gaja dan si Made karena mereka berasal
dari pulau yang berbeda, dan lama kelamaan GAJAMADE berubah panggilan
menjadi
GAJAMADA.
Manapun yang benar dari legenda tersebut tetapi tetap mengaikan bahwa
Gajamada masih mempunyai darah Batak. (Kata Legenda dan cerita).
Anting Malela akhirnya hidup bermadu dengan Boru Sibasopaet, hanya
dengan demikian impian hatinya memperoleh keturunan dapat tercapai
sebagimana petunjuk Mulajadi Nabolon.
Dari perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Anting Malela lahir 5 orang anak mereka yaitu :
1. Sibagot Nipohan,
2. Sipaettua,
3. Silahisabungan,
4. Siraja Oloan,
5. Siraja Hutalima.
Perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Sibasopaet juga melahirkan
anak, tetapi lahirnya anak tersebut ditandai dengan hal-hal yang tidak
logika.
Pertama keluar dari rahim Boru Sibasopaet segumpal daging, tidak ada
bentuk, si Boru Basopaet sangat sedih dan menangis karena yang
dilahirkan bukan bentuk manusia, disamping itu akan timbul perasaan malu
apabila orang lain mengetahuinya. Untuk menutupi kejadian tersebut dia
menyembunyikan gumpalan daging tadi di tumpukan sekam padi (
sobuon).
Demikianlah, si Boru Sibasopaet berlaku biasa sekan tidak terjadi
apa-apa, tetapi hatinya luluh lantak bila teringat kejadian yang
menimpanya. Dalam kesedihannya dia selalu mengasingkan diri di tepi
hutan dan menangis disana. Suatu ketika, terdengar olehnya suara
disela-sela suara suitan burung elang yang terbang melayang-layang di
atas kampong mereka. Dengan kesaktiannya, hanya si Boru Sibasopaet yang
dapat mengerti suara tersebut. Suara tersebut berkata bahwa pada
waktunya gumpalan daging yang dia sembunyikan akan pecah, dari dalamnya
akan keluar bayi mungil dan agar dinamai sesuai dengan tempat dia
disembunyikan.
Benarlah kata suara tersebut, gumpalan daging itupun pecah dan dari
dalamnya keluarlah seorang bayi mungil berparas tampan, tangisannya
membahana memenuhi rumah mereka. Sesuai pesan yang didengar dan
disampaikan kepadanya, si Boru Sibasopaet memberi nama kepada orok
tersebut seperti nama tempat di disembunyikan yaitu :
SOBU, karena dia disembunyikan di tumpukan SOBUON.
Kelahiran kedua juga demikian, hanya berupa gumpalan daging yang
tidak berbentuk. Si Boru Sibasopaet menyembunyikan gumpalan daging itu
diantara tumpukan kayu bakar (
soban, sumban ). Setelah gumpalan daging tadi pecah keluar pula bayi mungil yang kemudian diberi nama sesuai tempatnya disembunyikan :
SUMBA, karena disembunyikan di tumpukan sumban.
Anak ketiga juga demikian halnya, lahir hanya berbentuk gumpalan daging, si Boru Sibasopaet menyembunyilan di salean yang sudah
hitam pekat (naipos-iposon), setelah pecah dan keluar bayi mungil kepadanya diberikan nama sesuai tempat dia disembunyikan :
NAIPOSPOS.
Dengan demikian maka anak Tuan Sorbadibanua ada 8 orang, lima orang
dari isteri pertama Nai Anting Malela dan 3 orang dari Boru Sibasopaet.
Anak Tuan Sorbadibanua ini termasuk pada generasi ke V dari si Raja
Batak. Pada generasi ini nama anak Tuan Sorbadibanua yang menjadi marga
sampai sekarang adalah
POHAN dan
NAIPOSPOS.
Dari anak-anak Tuan Sorbadibanua terlahir marga-marga yang sangat banyak dan terkenal sampai sekarang, masing-masing dari :
SIBAGOT NIPOHAN : disamping marga
POHAN, keturunannya melahirkan marga-marga baru,
- Anak pertama Tuan Sihubil melahirkan marga: TAMPUBOLON.
- Anak kedua Tuan Somanimbil melahirkan marga : SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL.
- Anak ketiga Tuan Dibangarna melahirkan marga : PANJAITAN, SILITONGA, SIAGIAN, SIANIPAR.
- Dan anak keempat Sonak Malela melahirkan marga : SIMAGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU dan PARDEDE.
SIPAETTUA : anak Sipaettua ada tiga orang,
Dari anak pertama
PANGULU PONGGOK lahir marga :
HUTAHAEAN, ARUAN dan HUTAJULU.
Dari anak kedua :
PARTANO, lahir marga-marga :
SIBARANI, SIBUEA dan SARUMPAET.
Dari anak ketiga :
PARDUNGDANG lahir marga-marga :
PANGARIBUAN dan HUTAPEA.