Budaya Batak Dan Urutan Tahun Sejarahnya Di Indonesia :::
Generasi berikutnya mulai melahirkan beberapa kelompok Bangsa. Bangsa
Semetik kemudian menurunkan Bangsa Arab dan Israel yang selalu
berperang. Khabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Nabi
Ibrahim. Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan
Bangsa Yunani dan Roma yang menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan
tokoh ras ini yang ingin memurnikan bangsa Aryan di samping Bangsa
Braminik yang chauvinistik dan
menjadi penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan, Kaukasian,
Slavia, Persia (Iran) dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan
Gujarat) berkulit putih serta bule-bule lain sebangsanya.
Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit
hitam lainnya di dunia seperti Bangsa Dravidian (India berkulit Hitam),
Papua, Samoa, Aborigin di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di
kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.
Bangsa Tatar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa
Mongol; Cina, Korea, Uzbek, Tazik, Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad
penghuni Kutub Utara dan Selatan bermata cipit, Hokkian yang menjadi
Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta Bangsa Maya, Suku Indian dan
lain sebagainya yang menjadi penduduk asli benua Amerika dan yang kedua;
Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar, Afrika, Batak; Proto
Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.
Penyebaran populasi manusia terjadi paska “Tsunami” pertama atau dikenal
sebagai Banjir Bah di jaman Nabi Nuh AS. Di jaman ini pula ada sebuah
komunitas manusia yang konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter punah
ditelan banjir karena kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di
awal abad 20 menemukan kembali bangsa ini di pedalaman Afrika, namun
lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang tertarik untuk mengambil
sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS. Penelitian juga
diarahkan untuk menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis binatang
purba, yang juga mati tenggelam karena tidak sempat dan tidak ‘muat’
dimasukkan di kapal Nabi Nuh.
73.000-30.000 SM
Penduduk nomaden mendiami sekitar pegunungan Batak, yang meledak
membentuk danau Toba, keberadaan mereka berdasarkan penggalian sejarah
(berdasarkan sejarah geologi, Danau Toba terbentuk sebagai hasil
vulkanisasi Gunung Toba, salah satu gunung berapi terbesar yang pernah
ada di dunia)
3000-1000 SM (Sebelum masehi)
Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai
bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas
tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa
Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur,
Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat
istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang
masih mirp dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos.
Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam splendid
isolation di lembah lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan.
Mereka sangat jarang membuat kontak bersifat permanen dengan pendatang
yang berasal dari komunitas lainnya misalnya komunitas yang berada di
tepi pantai, pesisir, yang saat itu banyak dipengaruhi oleh ideologi
yang berbeda dengan mereka, misalnya Hinduisme (Yang disinyalir sebagai
ajaran turunan dari agama Nabi Nuh AS), Zoroaster, Animisme gaya Yunani
dan Romawi dan juga paham-paham baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme
Sifat tersebut masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang
Batak hingga abad 19. Sampai saat ini, diperkirakan suku bangsa yang
berasal dari ras ini masih mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa
Tayal, bangsa pribumi di Taiwan, Orang-orang Bontoc dan batak Palawan
penghuni pertama daerah Filipina.
1000 SM
Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi yang
lebih tinggi berkat hubungan mereka yang konsisten dengan berbagai
bangsa mulai bergerak ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka
menyebut dirinya Bangsa Syan dan kemudian menciptakan komunitas Burma,
Siam (Thai) dan Kamboja yang kemudian menjadi cikal-bakal negara.
Ras Proto Malayan mulai terdesak. Ketertutupan mereka menjadi bumerang
karena teknologi mereka tidak up to date. Sebagian dari mereka kemudian
mulai meninggalkan daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan untuk
mencari daerah baru bahkan ke seberang lautan, di mana mereka akan
menikmati hidup dalam ‘splendid isolation’ kembali.
Bangsa Bontoc bergerak ke daerah Filipina, Bangsa Toraja ke selatannya,
Sulawesi. Di Filipina, Batak Palawan merupakan sebuah suku yang sampai
sekarang menggunaka istilah Batak. Saudara mereka bangsa Tayal membuka
daerah di kepulauan Formosa, yang kemudian, beberapa abad setelah itu,
daerah mereka diserobot dan kedamaian hidup mereka terusak oleh
orang-orang Cina nasionalis yang kemudian menamakannya Taiwan.
Yang lain, Bangsa Ranau terdampar di Lampung. Bangsa Karen tidak sempat
mempersiapkan diri untuk migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara
Burma/Myanmar dan sampai sekarang masih melakukan pemberontakan atas
dominasi Suku Burma atau Myamar yang memerintah.
Selebihnya, Bangsa Meo berhasil mempertahankan eksistensinya di
Thailand. Bangsa Naga, Manipur, Mizo, Assamese mendirikan negara-negara
bagian di India dan setiap tahun mereka harus berjuang dan berperang
untuk mempertahankan identitas mereka dari supremasi bangsa
Arya-Dravidian, yakni Bangsa India, yang mulai menduduki daerah tersebut
karena over populasi.
Bangsa Batak sendiri, selain terdampar di Filipina, sebagian terdampat
di kepulauan Andaman (sekarang merupakan bagian dari India) dan Andalas
dalam tiga gelombang.
Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai ke Pulau
Enggano. Gelombang kedua terdampar di muara Sungai Simpang. Mereka
kemudian bergerak memasuki pedalaman Pulau Andalas menyusuri sungai
Simpang Kiri dan mulai mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini
berkembang dan membuat identitas sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka
yang menyusuri Sungai Simpang Kanan membentuk Komunitas Batak Alas dan
Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian dimasukkan Belanda ke peta Aceh.
Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam.
Mereka kemudian bergerak ke pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat,
Dolok Sanggul, dan dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau Toba.
Mereka kemudian mendirikan perkampungan pertama di Pusuk Buhit di
Sianjur Sagala Limbong Mulana di seberang kota Pangururan yang sekarang.
Mitos Pusuk Buhit pun tercipta.
Masih dalam budaya ‘splendid isolation’, di sini, Bangsa Batak dapat
berkembang dengan damai sesuai dengan kodratnya. Komunitas ini kemudian
terbagi dalam dua kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat
sebagai kubu tertua dan yang kedua; Kubu Isumbaon yang di dalam adat
dianggap yang bungsu.
Sementara itu komunitas awal Bangsa Batak, jumlahnya sangat kecil, yang
hijrah dan migrasi jauh sebelumnya, mulai menyadari kelemahan budayanya
dan mengolah hasil-hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan Bangsa
Arab, Yunani dan Romawi kuno melalui pelabuhan Barus. Di Mesir hasil
produksi mereka, kapur Barus, digunakan sebagai bahan dasar pengawetan
mumi, Raja-raja tuhan Fir’aun yang sudah meninggal. Tentunya di masa
inilah hidup seorang pembawa agama yang dikenal sebagai Nabi Musa AS.
1000 SM – 1510 M
Komunitas Batak berkembang dan struktur masyarakat berfungsi. Persaingan
dan Kerjasama menciptakan sebuah pemerintahan yang berkuasa mengatur
dan menetapkan sistem adat.
Ratusan tahun sebelum lahirnya Nabi Isa Al Masih, Nabi Bangsa Israel di
Tanah Palestina, Dinasti Sori Mangaraja telah berkuasa dan menciptakan
tatanan bangsa yang maju selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong
Mulana.
Dinasti tersebut bersama menteri-menterinya yang sebagian besar adalah
Datu, Magician, mengatur pemerintahan atas seluruh Bangsa Batak, di
daerah tersebut, dalam sebuah pemerintahan berbentuk Teokrasi.
Dinasti Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang
Tatea Bulan. Mereka sangat disegani oleh Bangsa Batak di bagian selatan
yang keturunan dari Tatea Bulan.
Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan
untuk pertanian, yang menjadi sumber makanan untuk mempertahankan
regenerasi. Maka perpindahan terpaksa dilakukan untuk mencari lokasi
baru. Alasan lain dari perpindahan tersebut adalah karena para tenaga
medis kerajaan gagal membasmi penyakit menular yang sudah menjangkiti
penduduk sampai menjadi epidemik yang parah.
Perpindahan diarahkan ke segala arah, sebagain membuka pemukiman baru di
daerah hutan belukar di arah selatan yang kemudian bernama Rao,
sekarang di Sumatera Barat. Beberapa kelompok di antaranya turun ke arah
timur, menetap dan membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung
Morawa, daerah di pinggir Kota Medan.
Satu kerajaan lain yang berdiri di era ini adalah Kerajaan Hatorusan
yang didirikan oleh Raja Uti di Sianjur Mula-mula. Pusat kerajaan
kemudian dipindahkan ke Barus dan Sigkil. Raja Uti adalah cucu langsung
Si Raja Batak dari anaknya Guru Tatebulan.
200 SM-150 M
Orang-orang Mesir (masa Ramses) mengunjungi tanah Batak, tepatnya, Barus
untuk membeli kapur barus. Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari
Ptolomeus abad ke-2 SM mengatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah
di kota Barus pada abad-abad terakhir sebelum tibanya tarikh Masehi.
Ptolomeus membicarakan Barus sebanyak lima kali di dalam laporannya
dengan pandangan negatif terhadap penduduk pribumi Sumatera, khususnya
orang Batak yang dikatakannya sebagai orang-orang kanibal (Wolters hal.
9; Krom h. 57-59)
Begitu pula rombongan kapal Fir’aun dari Mesir telah berkali-kali
berlabuh di Barus antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan
yang sangat diperlukan untuk pembuatan mummi. Mereka adalah orang-orang
Arab pra-Islam Funisia, Kartago yang sekarang menjadi Libya dan Mesir,
Afrika Utara.
100 SM
Sementara itu di pedalaman Batak, Sianjur Mula-mula beberapa kerajaan
huta telah berdiri. Tahun 100 SM Kerajaan Batahan Pulo Morsa eksis.
Kerajaan ini memakai sistem raja na opat atau raja berempat yang
terdiri; Pulo Morsa Julu, dengan Raja Suma Hang Deha, Pulo Morsa Tonga,
Raja Batahan Jonggi Nabolon, Pulo Morsa Jau dengan Raja Situan I
Rugi-rugi dan Pulo Morsa Jae dengan Raja Umung Bane. Kerajaan ini
bertahan selama 24 keturunan.
450 M
Daerah Toba telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat kerajaan
tersebut. Mereka yang dominan terutama dari kubu Isumbaon, kelompok
marga Si Bagot Ni Pohan, leluhur Annisa Pohan, menantu SBY, Presiden
pilihan langsung pertama RI. Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea
Bulan yang membentuk kelompok minoritas terutama dari marga Lubis.
Sebagian dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan.
Sebagain lagi menetap di Toba dan Uluan hingga kini. Keturunannya di
Medan mendirikan banyak lembaga sosial terutama Pesantren Modern Darul
Arafah di Pinggiran Kota Medan.
Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus bertarung melawan
orang-orang Minang. Kalah. Perantauan berhenti dan mendirikan tanah
Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi benteng pertahanan.
Mereka kemudian berhadapan dengan bangsa Lubu, Bangsa berkulit Hitam ras
Dravidian yang terusir dari India, melalui Kepulauan Andaman berkelana
sampai daerah muara Sungai Batang Toru. Bangsa Lobu tersingkir dan
kemudian menetap di hutan-hutan sekitar Muara Sipongi. Bila di India
Bangsa Arya meletakkan mereka sebagai bangsa terhina, ‘untouchable’;
haram dilihat dan disentuh, maka nasib sama hampir menimpa mereka di
sini. Saudara Bangsa Lubu, Bangsa Tamil migrasi beberapa abad kemudian,
dari India Selatan, membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan membentuk
Kampung Keling di Kerajaan Melayu Deli, Medan.
497 M
Para pengikut parmalim menyakini bahwa tahun 497 M atau 1450 tahun
Batak, merupakan tahun kebangkitan pemikiran keagamaan di kepemimpinan
Raja-raja Uti. Raja Uti dinobatkan sebagai Tokoh Spiritual Batak dan
Rasul Batak
502-557Orang-orang Cina datang ke Barus. Orang Cina
mengenal Barus dengan istilah P’o-lu-shih yang berarti pelabuhan
peng-expor kapur. Sebuah itilah yang berasal dari kata Cina yang berarti
harum: “P’o-lu” (Drakard 1993:3). Dalam teks-teks Cina pada zaman
Dinasti Liang (502-557), saat itu, kapur dikenal dengan nama “obat salap
dari P’o-lu atau Barus” atau P’o-lu-shih .
600-700Pada abad ke-7, utusan dagang kerajaan Barus
Hatorusan berangkat dari barus menuju ke Cina membicarakan perdagangan
bilateral antara Sumatera dan Cina (Wolters 33).
600-1200
Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari
Dinasti Batak, Dinasti Sori Mangaraja di pusat. Mereka mendirikan
kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok,
Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur
di tangan orang Batak Gayo mendirikan kerajaan Islam Aceh.
Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman
lava dan magma tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di
dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang
Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi
tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.
Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid
lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina
yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di
antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan
pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina
daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan
Cina Selatan.
Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan
maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang
Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota
Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan
batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.
Di daerah pesisir Barat, Barus, kota maritim yang bertambah pesat yang
sekarang masuk di Kerajaan Batak mulai didatangi pelaut-pelaut baru,
terutama Cina, Pedagang Gujarat, Persia dan Arab. Pelaut-pelaut Romawi
Kuno dan Yunani Kuno sudah digantikan oleh keturunan mereka
pelaut-pelaut Eropa yang lebih canggih, dididikan Arab Spanyol. Islam
mulai diterima sebagai kepercayaan resmi oleh sebagian elemen pedagang
Bangsa Batak yang mengimpor bahan perhiasan dan alat-alat teknologi
lainnya serta mengekpor kemenyan komoditas satu-satunya tanah Batak yang
sangat diminati dunia.
Islam mulai dikenal dan diterima sebagai agama resmi orang-orang Batak di pesisir; khusunya Singkil dan Barus.
600-700 M
Sriwijaya menjajah Barus. Sementara itu laporan Cina yang lain
mengatakan bahwa Sriwijaya pada abad ke-7 dan 8 merupakan kerajaan ganda
satu diantaranya ialah Barus (Wolters 9). Diyakini lokasi strategis
Barus dan volume perdagangan di wilayah tersebut membuat kerajaan
Hatorusan terlibat dalam pertikaian politik dengan kerajaan Sriwijaya
dari Sumatera Selatan dan Jawa, sehingga saling menganeksasi.
Hubungan Barus dengan Sriwijaya dibicarakan di dalam kitab Sunda lama
“Carita Parahyangan” yang mengatakan bahwa Barus merupakan daerah
taklukan dari Raja Sanjaya, raja Sumatera dari Sriwijaya yang berkuasa
di Jawa dan mendirikan candi Borobudur (Krom 126).
850 M
Kelompok Marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran
bermigrasi massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai Kualu dan
Barumun di Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai
kendaraan bermigrasi.
Karena ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka
sudah menguasai hampir seluruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan
dan Rokan. Sebuah daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk
mengembangbiakkan kuda-kuda mereka.
Sebagain dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah
Angkola dan di sini tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang,
mereka kembali menjadi komunitas agraris. Sementara di Padang Lawas
mereka menjadi penguasa feodalistik dan mulai memperkenalkan perdagangan
budak ke Tanah Batak Selatan.
851 M
Laporan Sulaiman pada tahun 851 M membicarakan tentang penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).
Ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan
bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatera
seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan 10, di
Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan
kehidupan yang cukup mapan.
900 M
Marga Nasution mulai tebentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun
sebelumnya, sejak tahun-tahun pertama masyarakat Batak di sini,
disinyalir saat itu zaman Nabi Sulaiman di Timur Tengah (Buku Ompu
Parlindungan), perbauran penduduk dengan pendatang sudah menjadi tradisi
di beberapa tempat, khusunya yang di tepi pantai.
Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu
(dikenal dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan
terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah
sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan
penuh toleransi dengan bangsa Batak.
Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat
Dalihan Natolu agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah
puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba,
seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk
peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga Nasution.
Sementara itu perebutan kekuasaan terjadi di Pusat Pemerintahan Kerajaan
batak, martua Raja Doli dari Siangjur Sagala Limbong Mulana dengan
pasukannya merebut wilayah Lottung di Samosir Timur. Percampuran
keduanya membentuk kelompok Marga Lottung Si Sia Marina, yang terdiri
atas; Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang
dan Siregar.
Ibnu Rustih, mengunjungi Barus kurang lebih pada tahun 900 M, menyebut
Fansur, nama kota di Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di
kepulauan Nusantara (Ferrand 79).
902 M
Ibn Faqih, mengunjungi Barus, melaporkan bahwa Barus merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).
1050 M
Karena minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah Lottung
kembali. Masyarakat Lottung Si Sia Marina berhamburan ke luar dari
wilayah tersebut menuju daerah yang “sehat”. Akibatnya, kelompok Marga
Siregar terpecah dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara,
keduanya bermukin di Toba.
1070-1120Kemasyhuran Barus juga mengundang imigran asing
bermukim dan berdagang serta menjadi buruh di beberapa sentral industri.
Sebuah inskripsi Tamil bertarikh 1088 M dari zaman pemerintahan
Kulottungga I (1070-1120) dari kerajaan Cola menyebut Barus terletak di
Lobu Tua, dan banyak orang Tamil tinggal di kota ini sebagai saudagar
dan pengrajin (Krom 59-60).
Guru Marsakkot Pardosi, Salah satu Dinasti Pardosi di Barus menjadi Raja
di Lobu Tua, Barus. Nenek moyangnya berasal dari Tukka, Pakkat di
Negeri Rambe yang datang dari Balige, Toba.
Pada permulaan abad ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idrisi,
memberitakan mengenai ekport kapur di Sumatera (Marschall 1968:72).
Kapur bahasa latinnya adalah camphora produk dari sebuah pohon yang
bernama latin dryobalanops aromatica gaertn. Orang Batak yang menjadi
produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.
Beberapa istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur al-Fansuri
dengan istilah latin Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa
Batak dikenal sebagai produk terbaik di dunia (Drakard 1990:4) dan
produk lain adalah Benzoin dengan bahasa latinnya Styrax benzoin. Semua
ini adalah produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana penduduk aselinya
dalah orang-orang Pakpak dan Toba.
1200-1285Kerajaan Nagur tetap eksis di hulu sungai Pasai.
Marah Silu, Raja huta Kerajaan Nagur, mantan prajurit/pegawai Kesultanan
Daya Pasai saat itu, masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan
Malik Al Shaleh. Di atas puing-puing kerajaan Nagur tersebut, sang Raja,
yang aseli Batak Gayo, berhasil melakukan ekspansi dan mendirikan
Kerajaan Samudera Pasai sekaligus menjadikannya sebagai Sultan pertama.
Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah
merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten
(Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang
dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil
menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.
Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia
adalah mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai, sebuah kerajaan yang
berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya
adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua.
Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.
Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al
Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295
berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun
1299.
Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Aru Barumun adalah sebagai berikut:
1. Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai
dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana
Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali
membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409
dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi
Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina
pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang
Batak yang paling dikenal di Cina.
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran.
Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan
Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun
1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut
Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.
1292-1302 M
Sultan Marah Pangsu Pardosi naik tahta, memerintah di Barus Hulu yang
mencakup beberapa negeri diantaranya Negeri Rambe, menggantikan ayahnya
Sultan Mualif Pardosi, (700-710 H). Kakeknya Sultan Kadir Pardosi
merupakan turunan pertama, dari Dinasti Pardosi, dari Tukka, yang masuk
Islam.
Dinasti Pardosi sejak dahulu kala sampai abad ke-19 adalah:
1. Raja Kesaktian (Bermarga Pohan di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H).
1292 M
Pada abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan
dagang utama untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112). Marco Polo
mengunjungi Sumatera pada tahun 1292 M, dan menulis bahwa Barus
merupakan sebuah kerajaan, yang agak tergantung kepada Cina, tetapi
merupakan pelabuhan rempah-rempah yang penting dan memiliki otonomi
(Krom 339).
1293 – 1339 M
Penetrasi orang-orang Hindu yang berkolaborasi dengan Bangsa Jawa
mendirikan Kerajaan Silo, di Simalungun, raja pertama bernama Indra
Warman dengan pasukan yang berasal dari Singosari. Pusat Pemerintah
Agama ini berkedudukan di Dolok Sinumbah. Kelak direbut oleh orang-orang
Batak dan di atasnya didirikan cikal bakal kerajaan-kerajaan Simalungun
dengan identitas yang terpisah dengan Batak. Kerajaan Silo ini terdiri
dari dua level masyarakat; Para Elit yang terdiri dari kaum Priayi Jawa
dan masyarakat yang terdiri dari kelompok Marga Siregar Silo.
1331 – 1364Di Nusantara, Kerajaan Majapahit tumbuh menjadi
sebuah Negara Superpower. Sebelumnya, Sebagin Eropa Barat dan Timur
sampai ke Kazan Rusia, Asia Tengah dan Afrika Utara dan tentunya Timur
Tengah didominasi Kekuatan Arab yang juga menguasasi Samudera India,
Atlantik dan sebagain Samudera Pasifik.. Kekuatan Persia-Mongol tampak
di India, Pakistan, Banglades dan sebagian China dan Indo-Cina serta
beberapa kepulauan Nusantara, mereka tidak kuat di laut. China
menguasasi sebagian Samudera Pasifik khususnya laut China Selatan.
Sementara itu di pedalaman Eropa manusia masih hidup dalam pengaruh
Yunani dan Romawi yang Animis, mereka kemudian menjadi perompak dan
pembajak laut. Di daerah nusantara kaum Hokkian menguasasi jaringan
‘garong’ perompak yang terkadang lebih kuat dari kerajaan-kerajaan kecil
melayu. Para pembajak laut Eropa sesekali diboncengi kaum Fundamentalis
Yahudi dan pendatang baru; kaum trinitas Gereja barat yang
berseberangan dengan Gereja timur yang unitarian dan menaruh dendam
kesumat atas kejayaan Arab.
Prapanca, seorang pujangga Majapahit abad ke-14, yang masyhur mengatakan
di dalam Negara Kertagama bahwa Barus merupakan salah satu negeri
melayu yang penting di Sumatera. Negeri Barus menjadi terkenal karena
masyarakat Batak di Sumatera saat itu, Batak Pesisir, menggunakan bahasa
melayu sebagai Lingua Franca.
1339Pasukan ampibi Kerajaan Majapahit melakukan infiltrasi
di muara Sungai Asahan. Dimulailah upaya invasi terhadap Kerajaan Silo.
Raja Indrawarman tewas dalam penyerbuan tersebut. Kerajaan Silo
berantakan, keturunan raja bersembunyi di Haranggaol.
Pasukan Majapahit di bawah komando Perdana Menteri Gajah Mada, mengamuk
dan menghancurkan beberapa kerajaan lain; Kerajaan Haru Wampu serta
Kesyahbandaran Tamiang (sekarang Aceh Tamiang) yang saat itu merupakan
wilayah kedaulatan Samudra Pasai.
Pasukan Samudra Pasai, di bawah komando Panglima Mula Setia, turun ke
lokasi dan berhasil menyergap tentara Majapahit di rawa-rawa sungai
Tamiang. Gajah Mada bersma pengawal pribadinya melarikan diri ke Jawa
meninggalkan tentaranya terkepung oleh pasukan musuh.
Para Keturunan Indrawarman kembali ke kerajaan dan mendirikan kerajaan
baru bernama Kerajaan Dolok Silo dan Kerajaan Raya Kahean.
1339Kerajaan Dolok Silo dan Raya Kahean berakulturasi
menjadi kerajaan Batak Simalungun, namun tetap berciri khas Hindu Jawa
absolut. Konon kerajaan ini mampu berdiri selama 600 tahun. Menjadi
dinasti tertua di kepulauan Indonesia di abad 20. Sekitar 250 tahun
lebih tua dari Dinasti Mataram di Pulau Jawa.
Pada saat yang sama dua kerajaan lain muncul kepermukaan; Kerajaan
Siantar dan Tanah Jawa. Raja di Kerajaan Siantar merupakan keturunan
Indrawarman, sementara Pulau Jawa, dipimpin oleh Raja Marga Sinaga dari
Samosir. Penamaan tanah Jawa untuk mengenang Indrawarman.
1350Kelompok Marga Siregar bermigrasi ke Sipirok di Tanah Batak Selatan.
1416 – 1513
Pasukan Cina dibawah komando Laksamana Haji Sam Po Bo, Ceng Ho, dalam
armada kapal induk mendarat di Muara Labuh di muara Sungai Batang Gadis.
Salah satu misi mereka yakni mengejar para bandit dari suku Hokkian
tercapai. Sebelum berangkat, pasukan Cengho yang berjumlah ribuah itu
mendirikan industri pengolahan kayu dan sekaligus membuka pelabuhan Sing
Kwang atau Singkuang dalam lidah lokal yang berarti Tanah Baru.
1416-1513Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai
berdatangan ke Sing Kwang dan berasimilasi dengan penduduk khususnya
kelompok marga Nasution. Para Tionghoa tersebut membeli Kayu Meranti
dari pengusaha setempat dan mengirimkannya ke Cina daratan untuk bahan
baku tiang istana, kuil dan tempat ibadah lainnya.
1419-1444Nicolo Di Conti dari Venesia tahun 1419-1444
mengadakan perjalanan ke Barus dan menyebutkan kapur dalam bukunya.
Seorang navigator atau mualim Arab Ahmad bin Majid menulis dalam bukunya
Kitab al-Fawa’id fi usul al-Bahr wa al-Qawaid (c 1489-1490) bahwa kapur
Barus ada di bagian utara Sumatera yaitu antara garis katulistiwa
sampai tiga derajat lintang utara (Marsden 1811: 149f)
1450-1500Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba,
khususnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai
Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di
Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun
Purba dab Sungai Karang.
Perubahan terjadi di konstalasi politik dunia. Para bajak laut Eropa
mulai mencari target operasi baru di kepulauan Nusantara yang hilir
mudik dilalui para pedagang-pedagang Internasional; Arab, Afrika, India,
Gujarat, Punjabi, Yunnan dan tentunya kelompok bajak laut lokal;
Hokkian.
1450-1818
Kelompok Marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah
Batak di pantai timur. Splendidi isolation Bangsa batak mulai terkuak.
Yang positif bisa masuk namun tidak yang negatif.
Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman
Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama
berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di
sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberapa
kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang
ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai
termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.
Siapapun berhak membeli, tidak ada diskriminasi agama. Toleransi antara
Islam dan agama orang Batak yakni parmalim berlangsung begitu erat dan
hangat.
1451Mazhab Syafii berkembang pesat di Tanah Batak.
Khusunya bagi mereka yang mendiami area Padang Lawas, di daerah Sungai
Rokan dan Sungai Barumun. Didirikan mesjid-mesjid di Daludalu, Tambusai,
Langgapayung dan Sunggam.
Juga orang-orang marga Marpaung, pedagang garam di daeran pengaliran
Sungai Asahan. Pada tahun 908H/1501M didirikan mesjid di Porsea Uluan.
Dekat jembatan panjang yang sekarang.
Mazhab Syafii juga berkembang pesat di komunitas Batak Simalungun
khususnya daerah Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Bedagai dan Bangun
Purba. Mereka kebanyakan berasal dari marga Sinaga dan Damanik. Sekarang
ini (2006) di Simalungun telah terpilih langsung dalam pilkada
Kabupaten Simalungun seorang putera daerah Zulkarnaen Damanik sebagai
Bupati Simalungun.
1508Kerajaan Haru Wampu yang berpopulasi orang-orang Batak
Karo diinvasi oleh Kesultanan Aceh. Dalam perkembangan politik
berikutnya para keturunan Raja Haru Wampu mendirikan kerajaan baru yang
menjadi cikal bakal Kesultanan Langkat.
1508-1523
Kesultanan Haru Delitua tetap eksis di daerah pengairan sungai Deli
namun kedulatannya berada dalam otoritas Kesultanan Aceh. Penduduknya
merupakan Batak Karo yang sudah memeluk agama Islam. Setelah melemahnya
dominasi Kesultanan Aceh, Kesultanan ini bertransformasi menjadi
Kesultanan Deli.
Kelompok bajak laut Eropa setelah beberapa lama dikucilkan karena
perangai ‘garongnya’ mulai memperkenalkan diri kepada kerajaan-kerajaan
nusantara sebagai ‘pedagang damai’. Taktik ini diambil agar mereka dapat
melakukan penetrasi ke wilayah kerajaan untuk pemetaan dan penentuan
titik-titik serangan untuk devide et impera.
1510Dinasti Sori Mangaraja, yang berpusat di Sianjur
Limbong Mulana, dikudeta oleh Kelompok Marga Manullang. Kejayaan dinasti
ini, setelah 90 generasi berturut-turut memerintah, lenyap. Dinasti ini
sendiri terdiri dari Kelompok Marga Sagala dari kubu Tatea Bulan.
1511
Pada permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang
terkenal dan mencatat di dalam bukunya Suma Oriental bahwa Barus
merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi
para pedagang asing.
Dia menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam
jumlah besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu
gaharu, madu, kayu manis dan aneka rempah-rempah.
Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus
pada awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya Al-Umdat Al-Muhriya fi
Dabt Al-Ulum Al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama
pelayaran orang-orang Arab, Persia dan India. Barus, tulis al-Muhri
lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai Barat
Sumatera.
Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali
Syalabi juga berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan
kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatera.
Sebuah misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan
di dalam laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih
yang bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga
kamfer yang penting bagi orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu,
asam kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur
yang dibawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga
didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari
Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kanpur, Pidie dan Lampung.
1516-1816
Di Daerah Batak Selatan, dengan populasi Tatea Bulan, Dinasti Sori
Mangaraja meneruskan pengaruhnya di Sipirok. Secara de jure diakui oleh
masyarakat Marga Siregar, Harahap dan Lubis. Secara mayoritas
masyarakat marga Nasution juga memberikan pengakuan sehingga Dinasti
Sisingamagaraja yang memerintah tanah Batak seterusnya, berpusat di
Bakkara, tidak mendapat pengakuan yang menyeluruh.
Dinasti Sorimangaraja:
1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3.Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI
4. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala masuk Islam.
1513
Kesultanan Aceh merebut pelabuhan-pelaburan pantai barat Pulau Andalas,
untuk dijadikan jalur baru perdagangan internasional ke Maluku via selat
Sunda. Bajak laut Portugis menutup dan melakukan aksi bajing loncat di
Selat Malaka. Portugis mulai membawa kebencian agama ke Nusantara;
diskriminasi agama diterapkan dengan melarang pedagang Islam melalui
Malaka. Cina Islam, Arab dan penduduk nusantara menjadi korban pelecehan
gaya Eropa.
Pengaruh internasionalisasi pelabuhan di Andalas, penduduk lokal Batak
di lokasi tersebut; Singkil, Pansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing
Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah
menganutnya.
Kelompok Marga Tanjung di Pansur, marga Pohan di barus, Batu Bara di
Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga,
Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan
Islam dengan kaffah.
1513-1818
Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas
pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan
Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan mesjid lokal kedua di
Silindung.
Di Jerman, Kaum Protestan melepaskan diri dari hegemoni Gereja Katolik Roma.
1513
Puncak perkembangnya mazhab syiah di Tanah Batak. Dengan cirri khasnya;
perayaan Tabut Hassan dan Hussein. Mereka itu adalah orang-orang Batak
di tanah pesisir barat, Barus, Teluk Sibolga dan Natal. Mereka
kebanyakan dari marga Pohan.
Juga pada komunitas Hutagalung, pedagang garam di tepi teluk Sibolga.
Pada tahun 921H/1514 didirikan mesjid syiah di kampung Hutagalung,
Horian di Silindung. Komunitas Hutagalung yang menguasai alur
perdagangan di teluk Sibolga, sampai ke daerah Silindung, Humbang dan
Pahae ini, mendirikan banyak mesjid di Silindung sebelum akhirnya
diruntuhkan Belanda saat menjajah tanah Batak. Tokoh Hutagalung yang
terkenal saat ini, yang terdokumentasi, adalah Amir Hussin Hutagalung,
bergelar Tuanku Saman lahir 1819 dan meninggal tahun 1837, yang semasa
dengan Tuanku Rao; Amiruddin Sinambela. Ayah dari Tuanku Saman adalah
Kulipah Abdul Karim Hutagalung yang menjadi imam mesjid di Silindung.
Yang terakhir ini diyakini telah berubah menjadi Sunni
Mazhab Syiah juga berkembang di komunitas Batak Karo Dusun di Deli Tua
1523
Orang-orang Eropa tidak sabar untuk menjarah Nusantara. Kesultanan Karo
Muslim di Haru Delitua dimusnahkan oleh kaum Portugis. Ratu Putri Hijau,
yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan raja-raja Aceh, tewas.
Sambil berzikir sang ratu diikat di mulut meriam lalu diledakkan.
Kebrutalan perang diperkenalkan oleh bangsa Eropa.
1540-1884
Dinasti Sisingamagaraja (SM Raja) tampil sebagai otoritas tertinggi di
Tanah Batak, menggantikan dominasi Dinasti Sorimangaraja.
Sisingamangaraja I, Lahir di Bakkara dengan nama Manghuntal atau dikenal
juga dengan nama Mahkuta, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu
Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas
pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M, lalu menghilang, putra
mahkotanya yang masih berumur 12 tahun naik tahta menggantikannya.
Diketahui kemudian, Sisingamangaraja pergi ke tanah Karo dan di sana dia
berkeluarga dan salah seorang cucunya menjadi pendiri Kota Medan, yakni
Guru Patimpus..
Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah
sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel, cap kerajaan, yang
bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun
1540 s.d 1550 M.
Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok
masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang
menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di
pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara,
Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.
Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap
mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat
Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII).
Di samping itu, dia juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada
para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas
sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam
kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite.
Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia
melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan
membawa air dan tanah dari Bakkara.
Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan
daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba,
keturunan yang sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga
Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam
institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit
(Putra sulung Sihombing).
Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat Raja Na Opat untuk
daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan geografis dan politik saat itu. Hal yang sama
dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu instusi lainnya
adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan
berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan
langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan
mendapat perwakilan yang berbeda.
Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istana
Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkah politik yang
sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat
menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan
hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta
kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan
kebersamaan.
Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif
dari masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum dididik di
Istana Raja Uti VII yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang
yang baik hati, tegas, suka menjauhi perbudakan, membayar utang
orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya membuat kharismanya
menanjak.
Kewibawaan dan keharuman namanya menumbuhkan beberapa mitos di
masyarakat mengenai pribadinya. Tidak diketahui siapa yang membuat mitos
tersebut, tapi yang pasti pembuatnya adalah pengagum kepribadian
Manghuntal.
Beberapa mitos tersebut adalah:
Divine dan Holy; SM Raja dan keturunanya dianggap sebagai seorang yang
mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha sakti
dan mempunyai banyak kelebihan.
Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang “yang tidak pernah mati dan tua”-na so olo mate na so olo matua.
Omniscient; Orang Batak percaya bahwa SM Raja mengetahui semua hal yang
dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang
dimaksud adalah kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Paska sepuluh tahun pemerintahannya di Bakkara, Sisingamangaraja I
menghilang dan diketahui bermigrasi ke tanah Karo dan berkeluarga di
sana. Turunannya menjadi raja-raja huta. Orang-orang di Bakkara meyakini
bahwa Sisingamangaraja hilang diangkat oleh kekuatan spiritual dan
mengangkat putranya yang amsih berumur dua belas tahun sebagai raja.
1590
Guru Patimpus, cucu dari Sisingamangaraja di Tanah Karo, masuk Islam dan
pada tanggal 1 Juli 1590 atau tahun 998 H, mendirikan kota Medan.
Tanggal 1 Juli 1590 menjadi haru jadi kota Medan. Cucu Sisingamangaraja
menjadi raja-raja huta di tanah Karo di bawah bayang-bayang hegemoni
Batak Karo (Haru) dan Batak Gayo (Samudera Pasai dan Kesultanan Aru
Barumun).
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari
Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak
bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo
dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu,
Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian
Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu
dengan Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai
dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada
padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :
Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.
1. Sisingamangaraja I, Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti
VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska
menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M, lalu
menghilang. Diketahui kemudian dia pergi ke tanah Karo.
2. Tuan si Raja Hita bin Sisingamangaraja I
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan.
4. Datuk Hafiz Muda
5. Datuk Muhammad Syah Darat
6. Datuk Mahmud
7. Datuk Ali
8. Banu Hasim
9. Sultan Seru Ahmad
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham.
Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk
Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin
dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo
ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar
ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian
dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab). Orang yang datang dari Jawi
itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun.
Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat
menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak
sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk
mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui
Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat
ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun
untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu
kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu
kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia
memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.
Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan
kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun
melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga
Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan,
rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan
yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu,
kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan.
Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara
Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan.
Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini
diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur’an.
Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak
lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua
putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua
putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur’an, karena itu Raja Aceh memberi
nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin
itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus,
menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama
Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII
Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta
yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit
diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan
Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap
menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan
adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung
Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung
Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus
belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah
Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut
namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah
yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah
dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan
menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam
Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya
tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban
998H (22 Juni 1590)
1550-1595
Angka tahun ini adalah masa pemerintahan Sisingamangaraja II, yang
bernama Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan.
1581
Marga Rangkuti terbentuk. Terdiri dari orang-orang Jawa/Minang yang
mengambil suaka politik di Mandailing akibat perubahan politik di
Kerajaan Pagarruyung di Minagkabau.
1593-1601
Intelektual lokal mulai tampil ke permukaan. Abdulrauf Singkil terkenal
sebagai ulama dan intelektual di dalam ilmu fiqih, politik dan ilmu
sosial lainnya.
Beberapa teorinya antara lain; Penghapusan perbedaan antara Kepala
Negara dan Agama. Raja merupakan otoritas kerajaan dan juga agama. Dia
mensyaratkan bahwa Raja yang akan memangku jabatan ini bukan turun
temurun melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Kedaulatan ada di tangan
rakyat. Teori ini kemudian diterima oleh Kesultanan Aceh dan jawa.
Eropa mulai bangkit melewati masa kegelapan. Ibarat bangsa kelaparan
mereka berhamburan ke penjuru dunia untuk membangun negara-negaranya.
Bangsa Inggris mulai membuat pertapakan pertama di Pelabuhan Tapian Na
Uli di tepi teluk Sibolga. Titik ini sangat mendukung untuk pemenuhan
logistik mereka untuk menjarah bagian-bagian lain di Nusantara. Ambisi
jahat yang tidak bisa ditebak oleh penduduk lokal.
Budaya perbudakan mendapat eksploitasi yang parah oleh hadirnya pihak
Eropa. Keramahan bangsa Batak di Batang Toru, Puli, Situmandi serta
Sigeaon dimanipulasi, mereka kemudian diperdagangkan sebagai Budak.
Beberapa wilayah di Nusantara mulai ditundukkan dengan tipu muslihat
Eropa. Perang antar kerajaan menjadi sangat intens; akibat Devide Et
Impera. Belanda mulai memetakan target operasi mereka di tanah Batak
setelah menguasai Jawa dan beberapa kerajaan kecil di Nusantara.
1590-1604
Syair-syair Hamzah Fansuri, tokoh inteletual Batak pesisir,
menggambarkan keindahan kota Barus saat itu. Keramaian dan kesibukan
kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai emasnya yang cekatan
mengubah emas menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang besar yang datang
dan pergi dari dan ke negeri-negeri jauh, para penjual lemang tapai di
pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari kayu barus dan keramaian
pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan membawa obor yang
telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila berjalan malam.
Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka
bergantung kalung emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah
hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah anjung yang pintu-pintunya
dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya
terhadap perilaku politik sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang
kaya yang tamak dan zalim.
Sebagaimana para sarjana Batak, Hamzah Fansuri mendapat pengaruh besar
di Aceh. Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa
Hamzah Fansuri memainkan peran penting di dalam kehidupan kerohanian
di Aceh sampai akhir pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid
al-Mukammil (1590-1604).
1595-1627
Masa pemerintahan Sisingamangara III di Bakkara.
1610
Sultan Ibrahimsyah Pasaribu, pendiri kembali Dinasti Hatorusan
(Pasaribu), wafat dalam serbuan pasukan Aceh, kepalanya dipancung dan
oleh itu dia dikenal dengan nama Sultan Tuanku Badan. Perang tersebut
dimulai tahun 785 H. Ibrahimsyah Pasaribu adalah keturunan Raja Uti,
putra Guru Tatea Bulan, pendiri kerajaan Hatorusan yang berpusat di
Singkel dan Barus.
Dinasti Pasaribu, Tengku Barus Hilir:
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan
Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni
1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang
menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah
tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.
1627-1667
Masa Pemerintahan Sisingamangaraja IV, dengan nama Tuan Sorimangaraja.
1630
Murid Hamzah Fansuri bernama Syamsuddin al-Sumatrani kemudian merantau
ke Aceh dan menjadi penasihat politik dan agama di Pasai bagi Sultan
Iskandar Muda. Dia wafat tahun 1630 M. Dia satu angkatan dengan
Abdulrauf Fansuri, tokoh lain inteletual Batak.
1641
Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli, Medan, tahun 1641, ketika
sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.
1644-1699
Pada tahun 1050 H/1644 M, Belanda datang ke pantai barat Sumatera dan
meminta ijin untuk bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus.
Ijin tinggal kepada orang Belanda diberikan pada tahun 1668 . Belanda,
akhirnya, mengadu domba dualitas kesultanan Barus (Hulu dan Hilir) yang
berujung kepada penjajahan tanah air Barus, tanah batak pesisir di
bagian barat Sumatera di abad ke-19.
1667-1730
Masa pemerintahan Sisingamangaraja V dengan nama asli Raja Pallongos.
1730-1751
Masa pemerintahan Sisingamangaraja VI dengan nama Raja Pangolbuk.
1736-1740
Penduduk Barus, khususnya Sorkam dan Korlang, mengusir VOC, perusahaan
Belanda yang banyak meresahkan (monopoli) perekonomian setempat . Mereka
dipimpin oleh Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit.
1751-1771
Masa pemerintahan Sisingamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut.
1771-1788
Masa Pemerintahan Sisingamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit
1788-1819
Masa pemerintahan Sisingamangaraja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu
Muara Labu. Diduga ada permasalahan politik sehingga baru pada tahun
1819 adanya suksesi kepada Sisingamangaraja X.
1790
Haji Hassan Nasution dengan gelar Qadhi Malikul Adil menjadi orang Batak pertama yang naik haji di Mekkah.
1809-1900
Kebangkitan Ulama lokal dalam perkembangan keagamaan di Tanah Batak
Selatan. Abdul Fatah dari Pagaran Siantar dan Syeikh Abdul Syukur
menjadi dua tokoh intelektual lokal. Mereka dikenal dengan keahlian
mereka dalam Tarekat, Khalwah dan Suluk. Disiplin imu mereka dikenal
dengan nama “Mazhab Natal” karena mereka mengajar di Natal, tepatnya
Huta Siantar. Mazhab Natal ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Mazhab
Maliki, yang dibawa Tuan Syekh Maghribi (Maulana Malik Ibrahim) dengan
dukungan adat yang dipengaruhi oleh faham syiah.
1812 M
Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, menjadi orang pertama dari
lingkungan kerajaan Dinasti Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah haji
ke Mekkah. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga,
bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja
di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
1816
Elemen mata-mata Belanda mulai menyusup ke Tanah batak dengan misi;
memetakan daerah serta kekuatan dan menentukan titik-titik penembakan
artileri di pusat-pusat kekuasaan tanah Batak.
Jenderal Muhammad Fakih Amiruddin Sinambela, Gelar Tuanku Rao, panglima Paderi, meluaskan pengaruhnya di Tanah Batak Selatan.
1816-1833
Islam berkembang pesat di Mandailing dengan pembangunan universitas, pusat-pusat perdagangan dan kebudayaan Islam.
1819-1841
Masa pemerintahan Sisingamangarah X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na
Bolon. Setahun sebelum diangkat, dia berseteru dengan keponakannya,
Fakih Sinambela, yang justru merupakan keponakan kesayangannya.
1818
Panglima Fakih Sinambela berseteru dengan pamannya Sisingamangaraja X, Raja Dinasti Sisingamangaraja di daerah Batak Utara.
Orang-orang Batak yang miskin dan putus asa dengan penyakit kolera
dimanipulasi Belanda sebagai kekuatan anti-otoritas SM Raja. Beberapa
kerajaan-kerajaan huta dihadiahi dengan pengakuan sehingga mejadi
raja-raja boneka yang membangkang. Kredibilitas kedaulatan
Sisingamangaraja di akar rumput menipis, dikempesi orang-orang Eropa.
Untuk kesekian kalianya epidemik penyakit menular menjangkiti penduduk.
Elemen Eropa dan Belanda di pantai timur Sumatera memanfaatkan situasi.
1818-1820
Perseteruan Sisingamagaraja X dan Fakih Sinambela memuncak. Pasukan
Fakih Sinambela dengan komando Jatengger Siregar berhadapan dengan
pasukan Sisingamangaraja X di Bakkara setelah buntu dalam perundingan.
Markas Pusat di Siborong-borong dengan komando Panglima Fakih Sinambela
memerintahkan pasukannya di Bakkara untuk menguburkan pamannya S.M Raja X
di pemakaman kerajaan dengan pasukan kehormatan dan melindungi
keturunannya.
Fakih Sinambela menolak tawaran pamannya menjadi Sultan di Tanah batak.
Mereka mundur ke Selatan. Yang Mulia Sisingamangaraja XI naik tahta.
1820
Pembantu Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan
Asahan di pantai timur Sumatera. Kesultanan ini masih berdiri hingga
tahun 1947. Anak-anak mereka yang dikenal adalah Tuanku Sri Sultan
Saibun Marpaung dan juga Dr. Mansur Marpaung, wali negara NST. Salah
satu bawahan Mansur Marpaung adalah Zulkarnain Aritonang, pahlawan dalam
perang Tanggabatu pada tahun 1818 mendirikan kerajaan Merbau.
Keturunannya menjadi Raja-raja Merbau, Sumatera Timur hingga tahun 1947.
1823
Thomas Raffles, Jenderal Inggris, tertarik untuk mengadu domba
kerajaan-kerajaan di Sumatera. Idenya; Aceh yang Islam dan Minagkabau
dipisah dengan Komunitas Batak Kristen. Tanah Batak harus, menurut
istilah Ompu Parlindungan, “dikristenkan”; diterima atau tidak.
Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal
Inggris di Kalkutta yang berhasil melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di
India; Burma yang Budda serta Thailand yang Buddha harus dipisah dengan
bangsa Karen yang Kristen. (Aljunied:2004)
Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke lokasi
tersebut. Di Tapanuli saja ada diutus beberapa orang, sbb;
1. Pendeta Burton yang bertugas menguasasi bahasa Batak dan
menerjemahkan Bibel ke Bahasa Batak, bertindak sebagai pemimpin misi.
2. Pendeta Ward, seorang dokter yang meneliti pengaruh penuakit menular, epidemik yang menjangkiti penduduk Batak.
3. Pendeta Evans, bertugas mendirikan sekolah-sekolah pro-Eropa.
Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di
Tanah batak yang akan berprofesi sebagai pendeta agar tidak terlalu
mendapat penolakan di sebagian besar mayarakat Batak yang telah menganut
agama Parmalim, agama S.M. Raja, di pusat-pusat kerajaan Batak.
1823-1824
Pertahanan benteng SM Raja di Humbang, yang ‘splendid isolation’ dan
tertutup untuk pihak-pihak tidak resmi, sangat kuat dan tidak dapat
disusupi, pelabuhan Barus bebas dari penyusup.. Tim tersebut hanya
berhasil masuk melalui pantai Sibolga dan daerah Angkola yang mayoritas
penduduknya muslim dan terbuka. Burton dan Ward berhasil memasuki Tanah
Batak, melalui pelabuhan Sibolga tempat beberapa komunitas Inggris
menetap berdagang, menyisir hutan belantara dan mencapai Lembah
Silindung. Misi berhasil. Namun ketika akan menyusup ke Toba, pusat
kehidupan sosial masyarakat Batak, Ward memberikan instruksi untuk
mundur. Epidemik Kolera masih mengganas di Toba dan Humbang. Burton dan
Ward mundur ke Sibolga. Dari sini ‘character assasination’ terhadap
panglima-panglima Padri dilancarkan.
Perseteruan antar penjajah untuk menguasai Tanah Batak muncul. Belanda
menggantikan posisi Inggris di Tapanuli, sesuai ‘Traktat London’.
Pendeta-pendeta Inggris diusir. Mereka yang sudah berhasil memasuki
wilayah privasi para Panglima tersebut dituduh bersekongkol dengan
Padri.
1830-1867
S.M Raja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Ada
yang menyebutkan angka tahunnya adalah 1841-1871. Di beberapa wilayah
dilakukan pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan
Aceh dijalin kembali. Sang Raja mulai menyadari kehadiran elemen-elemn
penyusup yang bermaksud untuk menguasai dan meniadakan Kedaulatan Bangsa
Batak. Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima;
Bangsa Batak malah melakukan kerjasama militer dengan Aceh.
Perkembangan pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat.
Kerajaan mulai mengerjakan penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkara’
setebal 23 jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain besar
mengenai undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha
yang memberikan dampat baik terhadap kredibilitas otoritas raja dan
kehidupan masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen
rakyat yang putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang
pro-Belanda.
Arsip tersebut dijilid setebal lima sentimeter dengan jumlah jilidan 23.
Bila ditumpukkan akan mempunyai lebar sekitar satu setengah meter.
Ditulis dengan menggunakan pena yang terbuat dari pohon Aren. Tidak
diketahui siapa penulisnya tapi yang pasti penulisannya diperintahan
oleh Sisingamangaraja XI dalam sebuah usaha untuk memajukan peradaban
Batak pada era pemerintahannya.
Jilid 1 sampai dengan 10, berupa kitab raja-raja kerajaan atau “Book of
Kings” seperti Pararaton, Tambo atau Sejarah Melayu dan lain sebagainya.
Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan annals (dokumentasi tahunan)
perihal pemerintahan Sisingamangaraja XI di Bakkara. Bila buku ini
diterbitkan kembali maka kemasyhurannya dipastikan akan menyamai
kitab-kitab Majapahit ala Prapanca.
Secara rinci mulai dari jilid 1 sampai dengan 3 berisikan informasi
mengenai pemerintahan Dinasti Sorimangaraja selama 90 generasi di
Sianjur Sagala Limbong Mulana di kaki gunung Pusuk Buhit.
Jilid satu dimulai dengan kalimat Ta Pa Da Na Da Na A A Sa Na yang
berarti kisah tentang Putri Tapidonda Nauasan, ibu suri dari suku bangsa
Batak. Diyakini oleh kepercayaan agama orang-orang Batak saat itu,
diturunkan dari ‘banua ginjang” oleh Debata Mulajadi Na Bolon.
Jilid 2 berisi kisah pemisahan diri orang-orang Batak Simalungun dari
kekuasaan Dinasti Sorimangaraja dan mendirikan kerajaan Nagur. Menyusul
pula orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu serta
kesetiaan orang Mandailing, Angkola dan Sipirok terhadap pemerintah
berkuasa saat itu.
Jilid 3 berisi tentang file-file mengenai keistimewaan dan kesaktian
raja-raja Batak. Legenda-legenda mengenai raja misalnya Sorimangaraja XC
yang diyakini dapat menerbangkan benda mati ke udara, demikian juga
dari pihak marga Simanullang dan Sinambela yang dapat menerbangkan
pedangnya. Semuanya menjelaskan peristiwa konstalasi politik kuno dalam
sebuah cerita perumpamaan dimana Dinasti Sorimangaraja dijatuhkan oleh
orang-orang marga Simanullang dan dijatuhkan lagi oleh pihak Sinambela
Jilid 4 samapi 7 berisi dokumentasi pemerintahan Dinati Sisigamangaraja
di Bakkara. Semuanya berisi mengenai kelahiran raja dan pengangkatannya
dan lain sebagainya. Setiap peristiwa itu juga dibarengi dengan
penjelasan mengenai kejadian alam yang menyusul terjadi.
Di jilid ini juga diceritakan bahwa Sultan Alauddin Muhammad Syah,
seorang Sultan Aceh, mengadakan perjanjian kenegaraan dengan pihak
Singamangaraja IX dalam kerjasama pertahanan. Sisingamangaraja IX
melepaskan pengaruhnya dari Singkil serta daerah Uti Kiri definitif
kepada pihak Aceh. Sebagai imbalannya pihak Aceh menyerahkan pengaruhnya
di daerah Uti Kanan dengan ibukotanya Lipatkajang ke pihak
Singamangaraja IX. Barus yang dikuasai oleh pihak Dinasti Pardosi dan
Dinasti Pasaribu Hatorusan (Tuanku Hulu dan Hilir) ditetapkan sebagai
zona netral. Sementara itu pihak Aceh mengakui pengaruh Sisingamangaraja
IX atas wilayah Simalungun dan kawasan Karo berada dalam pengaruh Aceh.
Dikisahkan juga perihal peristiwa suaka politik Pangeran Gindoparang
Sinambela yang diusir oleh Singamangaraja IX ke wilayah Uti. Gindoporang
Sinambela sekarang ini menjadi leluhur komunitas muslim Sinambela di
Singkil. Perihal keluarga Gindoparang dan anaknya Faqih Sinambela yang
menjadi seorang Jenderal di pihak Padri didapat oleh sejarawan Sutan
Martua Raja dari sebuah catatan keluarga orang-orang muslim marga
Sinambela di Singkil. Di sana kebanyakan mereka menjadi guru-guru agama
Islam yang menikah dengan orang-orang marga Pohan dari Barus.
Jilid 7 ditutupi dengan sebuah dokumentasi peristiwa tragis yang menimpa
Singamangaraja IX yang hendak mencoba sepucuk bedil hadiah dari Sultan
Aceh. Dia menembak mati satu ekor gajah yang mengakibatkan dirinya
hancur lebur diinjak oleh gajah-gajah yang lain.
Jilid 8 seluruhnya berisi dokumentasi pemerintahan Singamangaraja X serta peristiwa konflik kerajaan dengan kekuatan Padri.
Jilid 9 berisi mengenai mitos kepala terbang.
Jilid 10 mengenai kehidupan Amantagor Manullang selama memerintah di
Bakkara sebelum era Dinasti Sisingamangaraja. Dia tewas dan dibunuh oleh
orang yang tak dikenal di dataran tinggi Tele dan dikuburkan di
Paranginan, Humbang. Daerah ini sampai sekarang masih sangat rawan dan
menjadi sarang para perampok dan bajing loncat. Sebelum Tele ada sebuah
daerah yang bernama Dolok Partangisan yang dianggap angker dan seram
karena diyakini dulunya menjadi pusat pengajaran mistik dan membutuhkan
pengorbanan nyawa anak manusia.
Di jilid 10 ini pula diinformasikan mengenai kedatangan orang Eropa yang
disebut sebagai Si Bontar Mata oleh bahasa Batak yang memasuki
Silindung tapi tidak melalui Bukit Sigompulon. Agama yang mereka bawa,
katanya, ditolak oleh orang-orang Batak. Tidak disebutkan mengapa.
Jilid 11 berisi mengenai informasi penobatan Sisingamangaraja XI dalam
usia 10 tahun akan tetapi telah bersikap sangat bijaksana.
Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan file-file pemerintahan Ompu
Sohahuaon yakni Sinagamangaraja XI. Juga mengenai penanggalan
pemerintahan yang dimulai dari penobatannya sebagai raja. Menyerupai
angka tahun Jepang.
Tahun I dalam penanggalan Sisingamangaraja XI sama dengan tahun 1830 M.
Di ajaran parmalim juga terdapat penanggalan yang berdasarkan pada era
Dinasti Uti dimana tahun 497 Masehi sama dengan tahun 1450 tahun Batak.
Tahun ini dipercaya merupakan tahun berdirinya agama parmalim.
Sementara itu jilid 23 ditutup dengan tahun ke-37 dari pemerintahan Sisingamangaraja yang berarti tahun 1866 M.
Singamangaraja XI menyesuaikan permulaan tahun dengan permulaan Tinki Ni
Pangkuron yakni musim mencangkul sawah. Ini berarti tahunnya
disesuaikan dengan musim hujan yang di tanah Batak adalah pada
pertengahan November. Untuk tanda diambillah bintang na pintu yakni
Orion sementara tenggelamnya bintang hala yakni Skorpio.
Permulaan bulan dihitung degan naiknya bulan. Sehingga tula yakni malam
terang bulan purnama selamanya jatuh pada tanggal 15 seperti penanggalan
tahun Hijriyah. Sepuluh bulan pertama tidak diberi nama akan tetapi
hanya penomoran seperti bulan sapaha sada sampai dengan bulan sapaha
sappulu. Sementara itu bulan yang ke-11 bernama bulan hala dan bulan
ke-12 bernama bulan hurung.
Para ahli astronomi kerajaan mengerti bahwa penanggalan berdasarkan
bulan berbeda dengan penanggalan berdasarkan bintang selama 11 hari
setiap tahun. Akibatnya, permulaan dari bulan sapaha sada yang begitu
penting untuk mencangkul sawah turut pula bergeser 11 hari dari
timbulnya bintang na pitu. Singamangaraja XI juga mengadakan bulan na
badia yakni bulan ketigabelas yang diselipkan antara bulan hurung dan
bulan sapaha sada. Tujuannya, agar perhitungan waktunya tepat pada
permulaan tahun dengan timbulnya bintang na pitu, tepat dengan permulaan
musim hujan dan permulaan musim mencangkul sawah.
Jilid 11 dan 12 kondisinya sangat rusak.
Jilid 13 sampai dengan jilid 16 mengenai periode pembangunan ibukota
Bakkara dan daerah Toba dalam periode 1835-1846. Termasuk penataan
pertanian, peternakan, penetapan geografis negeri-negeri dan juga
pembangunan yang bersifat sosial dan poltik.
Dalam jilid 14 disebutkan bahwa Singamangaraja XI mengadakan kunjungan
kenegaraan ke Aceh dalam usia 24 tahun. Tujuannya untuk mengikuti
pendidikan militer di Indrapuri selama 2 tahun. Di sana dia satu kelas
dengan pangeran Ali Muhammad Syah, Tengku Mahkota Kesultanan Aceh.
Di sini juga disebutkan nama Teku Nangta Sati, ayah dari Cut Nya’ Dien
dan mertua dari Teuku Umar, yang ikut ke Bakkara bersama Singamangaraja
XI selaku ‘Chief Aceh Military Mission’ yang pertama. Selama
Singamangaraja XI di luar negeri, pemerintahan kerajaan di dalam negeri
dipegang oleh Panglima Panibal Simorangkir, putra dari Panglima Jomba
Simorangkir, pengawal setia Singamangaraja XI.
Dalam jilid 16 dicatat bahwa telah lahir putra mahkota Parobatu di tahun
ke-16 dari pemerintahan Singamangaraja XI yakni tahun 1845 M. (Dia
kelak memerintah antara tahun 1867-1907)
Jilid 17 menceritakan datangnya dua orang Eropa, Si Junghun dan Si
Pandortuk – the big nose yakni Dr. Junghuhn dan Dr. van der Tuuk. Momen
inilah yang membuat adanya kesempatan bagi orang asing mengabadikan foto
Singamangaraja XI. Van der Tuuk merupakan orang kulit putih
satu-satunya yang pernah diijinkan menginap di Bakkara karena dia
menyampaikan salam kepada Sinagamangaraja XI, dari abangnya Putra
Mahkota Lambung Sinambela di Roncitan, Sipirok.
Jilid 21 berisi informasi mengenai kunjungan Singamangaraja XI pada
tahun 1865 kepada pendeta Nommensen di Huta Damai untuk menagih pajak
atau cukai berupa ‘nyonya kulit putih’.
Dalam jilid 23 disebutkan bahwa dalam pemerintahan yang ke-36
Singamangaraja XI di tanah Batak Utara mengamuk lagi Begu Attuk, plague
epidemic, serta Begu Arun yakni kolera. (Singamangaraja XI sendiri
diketahui meninggal karena kolera)
Di jilid ini disebutkan juga bahwa Putera Mahkota Parobatu ditugaskan
selama dua tahun untuk mengikuti pendidikan militer di Aceh pada tahun
1864-1866.
1833
Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando
Mayor Eiler, di daerah Natal dan mengangkat rajanya menjadi raja boneka
dengan gelar; Regent van Mandailing. Elemen-elemen padri Minang dibasmi.
1833-1834
Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi
batu loncatan untuk menggempur Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah
dikumpulkan sebelumnya oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa yang
bergerak bebas di Tanah Batak
Kolonel Elout memerintahkan pendeta-pendeta tentara Belanda, yang
menjadi bawahannya di pasukan tersebut, antara lain; Pendeta Verhoeven
untuk mempersiapkan diri untuk meng-kristenkan penduduk asli Tanah Batak
Utara. Verhoeven diwajibkan untuk bergaul dengan penduduk asli dan
belajar Bahasa Batak.
Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta
tambahan tim misi dari American Baptist Mission (ABM). Permintaan ini
mendapat dukungan dana oleh Clipper Millionairs yang berpusat di Boston
dengan kompensasi mereka dapat menguasai kegiatan ekspor dan impor di
Tanah Batak yang sangat potensial saat itu.
Seperempat abad kemudian, Hamburg Millionairs mendanai pendeta-pendeta
dari Barmen untuk mengkristenkan Tanah Batak, hasilnya sejak tahun
1880-1940, di belakang “Reinische Missions Gesselschaft”, seluruh arus
perdagangan ekspor dan impor di Tanah batak dimonopoli oleh “Hennemann
Aktions Gessellschaft”. Diperkirakan, paska PD II total
pengusaha-pengusaha nasionalpun tidak sanggup mendekati 10 persen dari
volume perdagangan “Hennemen & Co,” dulu di Tanah Batak. (Tuanku
Rao; Ompu Parlindungan)
1833-1930
Masyarakat Mandailing menderita dengan pendudukan Belanda setelah
beberapa usaha mempertahankan diri, gagal. Eksodus ke Malaysia dimulai.
Komunitas-komunitas diaspora batak di luar negeri terbentuk. Di
Malaysia, Mekkah, Jeddah dan lain sebagainya.
1834
ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman,
Munson dan Ellys. Kolonel Elout menempatkan Ellys di Mandailing untuk
mengkristenkan masyarakat muslim di sana. Lyman dan Munson melanjutkan
jejak Burton dan Ward.
Lyman dan Munson memasuki Toba dengan seorang penerjemah dari Batak
Muslim, Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut baik. Namun setelah
insiden penembakan mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat,
Raja Panggulamau menolak kehadiran mereka.
Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat
diterima oleh raja. Lyman dan Munson mendapat hukuman mati oleh
pengadilan lokal.
1834-1909
Tokoh intelektual Batak lainnya muncul ke permukaan. Syekh H. Muhammad
Yunus Nasution menjadi ulama terkenal di Huraba, Angkola. (Schnitger
1983: 43-48)
1834-1838
Pemerintahan Militer Belanda di Tanah Batak Selatan didirikan secara
permanen. Komplek markas Besar Belanda didirikan berikut taman perumahan
para pemimpin militer.
1838-1884
Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai.
Mandailing, Angkola dan Sipirok menjadi Direct Bestuurd Gebied, Raja
Gadumbang tidak jadi dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan
Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya diberikan gelar Regent Voor Her
Leven.
Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan
Belanda di berbagai daerah, dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente
Air Bangis” tahun 1973 dan Toba, yang belum takluk, dimasukkan pada
tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang berhubungan dengan Kerajaan
Batak di Toba tidak dapat berbuat banyak untuk membantu. Hegemoni Eropa
tidak dapat terbendung. Manusia di nusantara hanya menunggu waktu untuk
menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah. Rakyat sudah
banyak yang pro Belanda.
1839-1840
Belanda kembali lagi dengan sebuah kekuatan perang ke Barus. Sebelumnya
elemen Belanda yang memonopoli dan membuat kesukaran bagi penduduk Barus
berhasil dideportasi oleh penduduk dan kerajaan. VOC dibenci oleh
rakyat dan perdagangannya di Barus dikalahkan oleh pedagang-pedagang
Aceh. Paska pendirian kantor resmi penjajah Belanda di Barus, para
pedagang dan elemen Aceh diusir. Pemerintah Belanda memonopoli kembali
perekonomian Kesultanan Barus .
1843-1845
Perbatasan Tanah Batak yang relatif aman hanya pelabuhan Singkil dan
Barus serta perbatasan darat dengan Aceh. Sisingamangaraja XI mengikuti
Pendidikan Militer di Indrapuri, Kesultanan Aceh.
1845-1847
Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati
ke Toba. Bersama Yang Mulia Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan
perencanaan strategi gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk.
Pertahanan dengan menggelar pasukan sudah tidak memungkinkan. Siasat ini
pada tahun 1873-1907 sangat membingungkan pihak imperialis Belanda.
1848
Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, satau-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI lahir.
1849
Neubronner van der Tuuk, atau yang dikenal di masyarakat Batak dengan
nama Pandortuk (Big Nose), diberangkatkan oleh Dutch Bible Society ke
Barus untuk mempelajari peradaban Batak agar dapat memberi masukan
kepada misionaris, mengatakan:
“Tidak ada harapan untuk mengkristenkan orang-orang Angkola dan
Mandailing. Sebagian besar mereka telah memeluk agama Islam, begitu juga
kebanyakan penduduk yang berada dalam penjajahan Belanda. Untuk
menyebarkan Agama Kristen, oleh karena itu, harus diambil sebuah
keputusan yang pasti. Semua anggota misi harus diarahkan ke tempat lain
(tanah Batak Utara). Jika kita tidak mengikuti rencana ini, maka semua
penduduk akan memeluk agama Islam tanpa kita sadari. Biasanya penyebaran
bahasa Melayu (di tanah-tanah penduduk yang masih pagan) akan membawa
orang-orang melayu ke tempat tersebut dan akan membuat penduduk tertarik
kepada Islam” (Pedersen 1970: 54; Muller-Kruger 1959: 181-182)
1852
Barus berhasil dikerdilkan oleh Belanda sebagai kota pelabuhan.
Posisisnya terkurung dengan dibangunnya Sibolga sebagai pelabuhan
penyaing oleh Belanda.
Sebab lain menurunnya popularitas Barus sebagai pusat perdagangan di
Tanah Batak adalah ditemukannya senyawa kimia yang dapat menandingi
kualitas kemenyan atau kapur barus di Jerman. Produk konvensional dari
Barus menjadi sangat usang.
1856
Sultan Marah Tulang naik tahta Kesultanan Barus Hulu pada tahun 1270 H
atau sekitar tahun 1856. Dia merupakan Sultan terakhir dari Dinasti
Pardosi yang masih memangku jabatan kerajaan. Setelah kepeninggalannya,
keturunannya hanya menjadi ‘kepala kuria’ atau pegawai gajian penjajah
Belanda.
1857-1861
Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE)
dengan gencar melakukan misi di Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain;
Pendeta Van Asselt di Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di
Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen di Pangarutan, Angkola dan
Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.
Misinya gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam
penguasaan Belanda menolak untuk dikristenkan. Belanda, tidak habis
akal, mempercayakan misi pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada
pendeta-pendeta Jerman, “Reinische Missions Gesselschaft” (RMG), yang
menganggur di Batavia, sejak diusir keluar dari Kalimantan Selatan oleh
Pangeran Hidayat.
Belanda menghubungkan pendeta Fabri, pemimpin RMG di Jerman dengan
pendeta Witteveen, pemimpin dari GPE. GPE mengalah, mundur dari Tanah
Batak Selatan, karena kahabisan dana. Dengan banjir dana dari perusahaan
Hennemann & Co, RMG memulai upaya misi kembali agar secepatnya
Belanda dapat menguasai Tanah Batak dan menghancurkan Aceh di ujung
sana.
1861
Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta van Asselt diadakan
rapat bersama oleh pendeta-pendeta Belanda yang sudah aktif di tanah
Batak bersamam pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup
oleh pendeta Klammer hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah
berpindah dari tangan Pendeta Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta
Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak menyukai posisinya menjadi
bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti menjadi pendeta.
1861-1907
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak
yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara
frontal Belanda belum mampu karena dipihak lain dan di dalam negeri
mereka banyak menghabiskan tenaga untuk menumpas
pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-kerajaan pribumi
tidak menyadari keunggulan mereka.
Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:
1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja.
2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja.
3. Daerah Batak, Singkil, gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam Aceh.
Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:
1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di tanah Karo, Dusun
2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung diberi pengakuan secara hukum.
6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim
didirikan dengan kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota
Pinang.
7. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan,
misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila dan lain sebagainya dengan tujuan
untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama,
wilayah dan kepentingan ekonomi.
8. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga.
9. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.
Pihak Gayo yang dimasukkan ke Aceh dan orang-orang Batak Karo serta
Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja
karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda
kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk
mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan
ekonomi, praktis, dikuasi Belanda. Kekuatan Tanah Batak mencapai titik
paling lemah.
Belanda memutuskan untuk mengkristenkan tanah Karo pegunungan dengan
memerintahkan Nederlandsche Zendings Genootschap yang kristen protestan
kalvinist. Akibatnya kini orang-orang Karo yang Kristen protestan
kalvinist tidak mau bergabung, baik itu identitas maupun sosial, dengan
orang-orang Toba yang Kristen protestan lutheran dalam HKBP.
Perbedaan identitas juga terdapat di dalam komunitas Karo sendiri.
Mereka yang bermukim di tanah Karo pegunungan hingga tahun 1905 tetap
masih menganut agama tradisional Batak. Dalam abad ke-20 mereka banyak
menganut Kristen Protestan Kalvinis. Sementara itu orang Karo Dusun
kebanyakan adalah muslim sejak masa kesultanan Haru Delitua (1508-1523).
Akibat penurunan identitas Karo menjadi Melayu banyak orang Karo yang
muslim yang tidak mencantumkan marganya saat lahir. Kebangkitan
identitas Karo akhirnya terjadi lagi pada era tahun 1950-an. Di mana
banyak muslim Karo sudah mengenakan marganya kembali.
1863
Pendeta Nommensen dari Sipirok memasuki Silindung. Pengkristenan Tanah
Batak Utara dimulai dan dikerjakan dengan sangat sistematis. Target ke
selatan Batak, daerah Batak Muslim, dikurangi. Dengan beking seorang
raja, Pontas Lumban Tobing, yang sudah pro Belanda, sebuah gereja
pertama didirikan di Hutadamai, Silindung. (Tuanku Rao; Ompu
Parlindungan)
1864-1866
Pangeran Parobatu, selama dua tahun, mengikuti Pendidikan Militer di
XXV/Mukim, di Kesultanan Aceh. Setelah wisuda, pangeran juga membawa
oleh-oleh; Bantuan Pasukan Penempur dari Aceh, ke Bakkara.
1867
Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal
membendung epidemik ini. Yang Mulia Sisingamangaraja XI wafat karena
kolera. Pangeran Parobatu naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan
gelar Patuan Bosar. Ada yang menyebutkan angka tahun masa pemerintahan
Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan nama Patuan Bosar, gelar Ompu
Pulo Batu adalah 1871-1907.
Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi.
Rakyat yang frustasi berduyun-duyun mendatangi Christian Community di
Hutadame.
1867-1884
Sisingamangaraja XII selama 17 tahun memerintah di Bakkara. Menurut
penulis sejarah pro Belanda, Sisingamangaraja memerintah dengan tangan
besi, untuk mempertahankan “Singgasana Batak Pagan Priest Kings” yang
sudah memerintah selama 12 generasi paska Dinasti Sori Mangaraja.
Informasi ini tentunya untuk pengalihan perhatian orang-orang Batak di
masa mendatang yang akan merasa kehilangan penguasa Batak yang mereka
cintai.
Selanjutnya, para penulis itu menuduh Sisingamangaraja XII secara
totaliter menentang Pemerintah Belanda, serta menentang infiltrasi dari
Agama Kristen yang dibawa oleh pendeta-pendeta Jerman. Mereka
menambahkan bahwa karena itulah orang-orang Batak yang sudah Kristen
(dan lebih-lebih lagi yang sudah Islam) tentulah tidak mau mengakui
seorang Batak Pagan Priest King.
Belanda, dengan dendam kesumat atas kewibawaan Sisingamangaraja XII,
sengaja menanam bibit perpecahan dan pertikaian di masyarakat untuk
dipanen oleh generasi Batak di masa mendatang. Paska Kemerdekaaan
Indonesia, bibit itu melapuk dan tidak membuahkan hasil. Orang Batak
hidup damai dalam toleransi beragama.
Raja Huta, Pontas Lumbantobing di Saitnihuta, Silindung, menjadi
antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak.
(Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
Di tanah Batak Utara didirikan sekolah-sekolah dengan jumlah besar;
Sekolah Dzending. Namun, demi misi imperialis, diskriminasi diterapkan.
Anak-anak dari Sintua, tetua Gereja, mendapat prioritas masuk sekolah
Zending. Untuk menjadi Sintua, seseorang harus membuktikan diri patuh
terhadap Kristen. Orang-oranng tanah Batak Utara belomba-lomba menjadi
Sintua. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
Posisi Sisingamangaraja XII kehilangan legitimasi dan dukungan dari
rakyatnya yang sudah Kristen karena sudah berlomba-lomba menjadi Sintua
(idem).
Penduduk Dairi, Pakpak dan Simsim masih menjadi pengikut setia
Sisingamangaraja XII. Dalam pertempuran dengan Belanda, Ibukota kerajaan
yang sudah ditandai oleh tim penyusup sebelumnya menjadi sasaran empuk
pasukan Belanda. Serangan-serangan artileri memaksa Sisingamangaraja
XII, dengan pengawalan khusus dari rakyatnya orang-orang Gayo yang
menjadi pasukan komando dari Aceh, pasukan yang diberikan Kesultanan
Aceh, mengungsi di Dairi dan melancarkan serangan dari hutan belantara
sana. (1884-1907). Sementara itu panglima-panglimanya yang masih setia,
melakukan upaya defensif untuk menahan laju tentara Belanda.
1869
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pendeta Ellys di Mandailing
menemukan beberapa hambatan-hambatan, serta penyebabnya, dalam misi
pengkristenan. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)
1. Aliran Baptist, merupakan kelompok yang sangat sedikit di dunia.
Baptist melepaskan diri dari Gereja Roma Katolik, lebih dahulu daripada
Protestan dengan Martin Luther-nya pada tahun 1517. Baptis
mengkristenkan orang-orang dewasa dengan cara menyemplungkan diri,
seluruh badan, di dalam sungai. Seperti halnya oleh Johannes Pembaptis
sebelum Jesus.
2. American Baptist Misson dan British Baptish Mission tidak mau lagi
mendanai Pendeta di Mandailing yang berpenduduk Muslim dan taat
beragama.
Dinasti Romanov, di Rusia beragama. Kristen Ortodoks Katolik. Akan
tetapi di Ukraina terdapat sedikit aliran Baptist keturunan Belanda yang
disebut; Mennoniets, karena mereka adalah keturunan dari Menno Simons.
Baptist, Doopsgezinden, di Negeri Belanda habis dibasmi oleh Protestan,
di dalam periode 1568-1648.
Orang-orang Baptist Belanda melarikan diri ke Ukarina. Di sana, mereka
dilindungi oleh Dinasti Romanov, karena kepandaian mereka di bidang
pertanian dan peternakan.
Dinasti Romanov saat itu sedang asyik menanam pengaruh di Seluruh Asia,
mulai dari Selat Dardanella, sampai ke Vladiwostok. Romanov kemudian
mengatur kepergian Pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina ke Mandailing
1869-1918.
Gereja yang di Mandailing didirikan pada tahun 1838 dirombak dan diganti
dengan Gereja model Basilyk Rusia, lengkap dengan atas yang berbentuk
“bawang” , 1869. Misi pendeta Mennoniet inipun berakhir karena jatuhnya
Tsar Rusia yang dibantai oleh kaum Komunis. Pendeta Iwan Tissanov,
pendeta yang teakhir dari aliran ini kemudian pindah ke Bandung 1918.
(Pedersen 1970:56; Elkhart:2001)
Keturunan pasukan Padri bermarga Lubis, Kalirancak Lubis dan Jamandatar
Lubis, yang pernah merebut Toba dan menguasai Ibukota Bakkara, di bawah
pimpinan Panglima Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, kemenakan S. M.
Raja X, menjadi Kristen Protestan Luteran di HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan). Salah satunya adalah Martinus Lubis pahlawan Medan 1947.
1870 M
Peta politik populasi Tanah Batak:
Di Tanah Batak Selatan; 90% Beragama Islam, 10% lagi terdiri dari Muslim Syiah, Kristen Protestan dan Baptist.
Di Tanah Batak Utara; 90% Beragama Monoteis Adat Sisingamangaraja
(Parmalim atau Sipelebegu) dengan Sisingamangaraja sebagai Raja dan
Pemimpin Agama dan Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan, Maha Pencipta serta
Maha Agung) sebagai Tuhan.
Sementara 10 persen lagi; Muslim dan Protestan di Silindung.
1873
Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji
dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari
tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan
pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.
Kesabaran Sisingamagaraja XII sudah menipis, tindakan ofensif
ditingkatkan. Pertempuran Tangga Batu II meletus. Sisingamangaraja XII
terluka, kena tembak dan berdarah. Belanda mengumunkannya ke seluruh
penjuru. Tujuannya, agar hormat dan kepercayaan orang-orang Batak
terhadap raja mereka, SM Raja XII, goyang.
Di periode yang sama, dengan bala tentara yang lebih banyak, kebanyakan
terdiri dari pasukan paksaan dari daerah-daerah jajahan lainnya;
Halmahera, Madura dan Jawa, Belanda melumpuhkan kekuatan tempur SM Raja.
Sisa-sia kekuatan hanya untuk defensif. Dari dataran tinggi Humbang
(sekarang di Kab. Humbang Hasundutan) Bakkara dibombardir dengan senjata
Artileri Berat, namun Belanda masih takut untuk melakukan serangan
infanteri.
1881 M
Toba resmi diduduki Belanda. Di Balige ditempatkan Controleur B.B. Di
Laguboti ditempatkan sebuah detasemen tentara Belanda. Pendeta Pilgram
di Balige dan Pendeta Bonn di Muara mulai mengkristenkan penduduk yang
sudah menyerah dan tak berdaya. Sementara itu, tentara Belanda diperkuat
dan Laguboti menjadi garnizon Tetap.
Pasukan SM Raja mulai kehilangan pasokan senjata dan amunisi dari dua
pabrik senjata di kedua tempat tersebut, yang dibangun atas alih
teknologi dari Kesultanan Aceh.
1882-1884Sisingangaraja XII di ibukota Bakkara
meningkatkan kewaspadaan mereka dalam sebuah upaya ofensif dan melakukan
usaha mendeportasi elemen-elemen Belanda, yang menyusup jauh dan
membeberkan kelemahan kerajaan, serta pendeta-pendeta Jerman keluar dari
wilayah kedaulatan Tanah Batak.
Yang Mulia, Patuan Bosar, menjanjikan uang sebanyak 300 ringgit burung
untuk setiap orang yang memancung seorang pendeta Jerman dengan membawa
bukti berupa kepala yang dipancung (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
Terutama Pendeta Bonn di Muara, yang lalu lalang dan mengintai di daerah
antara Bakkara dan Balige dan terlalu dekat dengan pusat kekuasaan
Patuan Bosar.
1883
Destor Nasution, putera dari Jarumahot Nasution alias Hussni bin Tuanku
Lelo, menjadi pendeta. Tuanku Lelo merupakan salah satu panglima tentara
Islam Padri yang merebut Bakkara di era S. M. Raja X.
Destor merupakan orang Batak pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta
dari Marga Nasution. Ayah Tuanku Lelo merupakan Qadi Malikul Adil,
Menteri Kehakiman di pemerintahan Padri, dan orang Batak pertama yang
naik haji ke Mekkah, 1790.
Pasukan Sisingamangaraja XII dengan sisa-sisa kekuatannya melancarkan
serangan frontal ke Muara. Tujuannya. Merebut kembali tanah Toba, dan
mengusir Belanda di Laguboti. Pendeta Bonn dan Istrinya berhasil
melarikan diri.
Belanda membalas, Bakkara dikepung dengan bombardir artileri dan serangan infanteri. Ibu kota Bakkara, hancur lebur.
S. M Raja hijrah ke Tamba dan mengatur serangan dari sana. Pasukan
khusus dari Aceh masih setia melindungi ‘Sri Maharaja’ Patuan Bosar.
Dukungan rakyat muncul kembali tatkala mendengar patriotisme Putri
Lopian Boru Sinambela yang sejak usia 11 tahun selalu mendampingi
ayahnya, S. M. Raja XII, Pahlawan Nasional Indonesia. Secara khusus sang
putri selalu melakukan ritual untuk memintakan pertolongan dari Debata
Mulajadi Na Bolon.
Melihat opini rakyat yang mulai menentang, Belanda tidak terima. Karisma
sang Putri di bendung dengan tangan besi. Pembicaraan mengenai S. M
Raja dan putrinya akan mendapat hukuman penjara. Akibatnya lambat laun
rakyat lupa kembali, apakah rajanya masih berjuang atau tidak. Rakyat
terintimidasi untuk berbicara mengenai rajanya. Perang Ideologi.
1884-1905
Padangsidempuan menjadi ibukota keresidenan Air Bangis.
1884-1907
Sisingamangaraja XII, Pahlawan Nasional Indonesia dengan heroik
meneruskan perang melawan penjajah dari Dairi. Tanpa sedikitpun bantuan
dari orang-orang Toba di Silindung yang menyibukkan diri untuk menjadi
Sintua agar anaknya diterima sekolah di Zending.
1886-1948
Syekh Juneid Thola Rangkuti, dari Maga yang juga dikenal dengan nama
Simanonga, tampil menjadi tokoh pembaharuan sosial di Tanah Batak
Selatan. Dia mendirikan sebuah institusi pendidikan di Padang Rengas
yang menjadi pusat studi dan pengembangan Islam secara lokal.
1905
Ibukota Keresidenan Tapanuli, Belanda, dipindahkan ke Sibolga. Pada
tahun ini penjajah Belanda di Indonesia mengeluarkan Ordonansi Guru,
yang mengharuskan setiap guru Islam untuk melapor setiap tahun kepada
Belanda, tidak terkecuali di tanah Batak, sejalan dengan usul K.F.
Holle. Akibatnya, di lapangan banyak guru-guru Islam diburu, diusir dan
diasingkan. (Lihat: Politik Islam Hindia Belanda, H. Aqib Suminto,
LP3ES, Jakarta, Hal 184). Hal ini menjadikan perimbangan kekuatan elemen
pribumi yang anti dan pro penjajahan semakin timpang.
Sejak tahun 1849 Asisten Residen Mandailing Ankola berusaha memecah
masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, sesuai dengan misi Devide et
Impera penjajah Belanda dengan menerapkan gagasannya untuk memisahkan
orang-orang Batak yang sudah Islam dengan mengkristenkan orang-orang
Batak pelebegu. A.P. Godon yang sudah pensiun sejak tahun 1857
menyatakan dalam suatu diskusi: “Dalam laporan umum tahun 1849 selaku
Asisten Residen Mandailing Angkola, saya menyatakan bahwa guru agama
Kristen pada saat itu masih bisa bekerja dengan dengan baik. Saya
sarankan agar antara suku (Batak Islam, atau) Melayu dan Batak harus
dipisahkan dengan jelas. Metode yang paling baik adalah menyeru
orang-orang Batak pelebegu agar masuk Kristen.” (Lihat O.J.H. Graaf van
Limburg Stirum, hal. 126)
Pada tahun 1889, Gubernur Jenderal pemerintah penjajah Belanda
mengeluarkan surat keputusan rahasia yang menentukan bahwa di daerah
yang penduduknya tidak memeluk agama Islam, tidak boleh diangkat kepala
desa atau pegawai muslim. Peraturan atau kebiasaan yang mendukung Islam
pun tidak dibenarkan. (lihat: Beslit Rahasia Gubernur Jenderal No. 1,3
Juni 1889).
Dua orang residen Tapanuli bernama Westenberg dan Barth kemudian
membuktikan bahwa pemerintah kolonial tidak senang melihat perubahan
kepada Islam, bahkan Westenberg memberi contoh memecat kepala desa yang
masuk Islam. Pemerintah penjajahan Belanda menyetujui hal itu karena
sesuai dengan jiwa beslit rahasia 1889 tersebut. (M. C. Jongeling, Het
Zendingconsulaat in Nederlands Indie, 1906-1942, (Arnheim, 1966) Hal.
112). Namun dukungan penjajah seperti ini tidak mampu menghentikan
kekuatan pribumi yang anti-penjajahan.
Pada tahun 1903, Kepala Kampung Janji Angkola, Aman Jahara Sitompul,
yang telah menjadi Kepala Kampung selama 23 tahun, masuk Islam berkat
anaknya Syeikh H. Ibrahim Sitompul. Akibatnya Aman Jahara Sitompul
diberhentikan sebagai Kepala Kampung atas dasar beslit rahasia 1889.
Syeikh H Ibrahim Sitompul melakukan perlawan dan melakukan aksi politik
dengan menayakannya kepada Dr. Hazeu, Adviseur voor Islandsche zaken.
Alih-alih mendapat tanggapan, laporannya baru resmi diterima enam tahun
kemudian, yaitu pada tahun 1909. Dr. Hazeu berusaha melakukan himbauan
kepada kekuatan penjajah yang ditolak mentah-mentah oleh Residen
Westenberg dengan penegasan sekali lagi bahwa pegawainya telah
melaksanakan kebijakan yang digariskan pada tahun 1889.
Sikap Residen Westenberg kemudian dipertegas oleh rezim penjajah dengan
pernyataan Frijling, Penasehat Urusan Luar Jawa, untuk menerapkan
kebijakan rahasia tersebut apa adanya.
Di lain pihak pada tahun 1903, Janji Angkola Pabea Sitompul, saudara
Syeikh Ibrahim Sitompul, berusaha keras untuk mengembalikan kehormatan
ayahnya. Namun kali ini tanggapan keras datang dari pihak penjajah. Dia
terbentur tembok dengan adanya surat keputusan dari pimpinan tertinggi
penjajah di Indonesia yakni keputusan Gubernur Jenderal Penjajah tanggal
5 Juni 1919 yang tidak mengabulkan pengaduan tersebut. (Lihat;
“Christelijke Zending en Islam in Indonesia”, dalam Koleksi GAJ. Hazeu,
No. 42, KITLV, Leiden. Bandingkan dengan Lance Castles, The Political
Life of Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940, disertasi, Yale
University, 1972, Hal. 91-93.
Sementara itu, pada bulan Maret 1919, di Janji Angkola diadakan
pemilihan kepala kampung baru. Sekalipun jumlah warga Batak yang
beragama Kristen sebanyak 400 orang, sedang warga Batak yang muslim
hanya 60 orang, namun ternyata Syeikh Ibrahim Sitompul yang menang dalam
pemilihan tersebut. Tapi Kontrolir Silindung Heringa menyarankan agar
residen mengangkat Aristarous, bukan Syeikh Ibrahim Sitompul.
Residen Vorstman sadar dengan instruksi rahasia 1889, kemudian
mengadakan pemilihan ulang, dengan harapan pihak Batak Islam akan
tersudut. Namun ternyata Syeikh Ibrahim Sitompul tetap keluar sebagai
pemenang, dengan suara 218 lawan 204. Residen Vorstman tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Kekuatan anti-penjajahan kali ini berhasil unjuk
gigi.
Dalam pada itu hubungan perdagangan antara daerah Singkel dan Dairi juga
diputus dengan alasan Devide et Impera. Dengan demikian orang-orang
Batak di tanah Batak pusat akan terisolir dan mudah untuk ditaklukkan.
Asisten Residen Bataklanden dan Residen Tapanuli kemudian melakukan
langkah dengan memisahkan orang-orang Batak di Singkel dengan Dairi.
Hubungan lalu lintas antara Singkel dan Dairi pun diputus. Raja
Batu-batu, seorang Raja Batak Singkel, yang kebetulan seorang muslim
dilarang untuk mendatangi rakyatnya di Dairi. (Surat Residen Tapanuli
Westenberg ke Gubernur Jenderal tanggal 9 Oktober 1909, dalam Koleksi
G.A.J Hazeu). Bahkan sejak tahun 1910 para pedagang Batak Singkel
dilarang tinggal di daerah Batak, maksudnya Keresidenan Tapanuli, lebih
dari 24 jam. (Nota Lulofs 11 Juli 1915, dalam Lance Castle, Hal 94)
Usaha penjajah Belanda untuk mengkotak-kotakkan orang Batak dalam agama
dan teritori agar mudah dijajah juga dilakukan di Silindung. Pada tahun
1915. Lulofs memberikan instruksi sektarian kepada bawahannya agar
dibuat batas baru di sebelah utara Janji Angkola, dan politik anti-Islam
hanya boleh dilaksanakan disebelah utara desa tersebut. Dalam suratnya
kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal 16 Mei 1916, Lulofs
menjelaskan bahwa dengan adanya garis pemisah, maka bisa diadakan
tindakan tegas dalam daerah tertutup. Misalnya dengan menggunakan
Ordonansi Guru 1905 untuk menghindari pendidikan Islam di daerah
tersebut. Ordonansi Guru ini memungkinkan penjajah dapat memburu,
mengusir dan mengasingkan guru-guru Batak Islam.
Namun, pihak zending menentang instruksi- yang dinilai terlalu
menguntungkan Islam- ini. Dan menyatakan keheranannya mengapa sikap
seorang pegawai demikian simpati kepada Islam. Karena menurut mereka di
daerah ini terdapat 15.000 orang Kristen, 30000 orang Batak Islam dan
masih banyak animis yang akan diserahkan kepada nabi palsu. (Lihat surat
Lulofs kepada Direktur BB tanggal 16 Mei 1916).
Terhadap pemisahan daerah Islam-Kristen semacam ini Hazeu tidak setuju,
karena dia tidak membenarkan terjadinya pengusiran seseorang dari daerah
tertutup. Dalam suratnya kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal
29 Desember 1916, Hazeu menyatakan, “Saya memperingatkan dengan keras
bahwa Ordonansi Guru tidak boleh digunakan untuk tujuan mengusir haji
sebagaimana dibenarkan oleh tuan Lulofs” (Koleksi G.A.J.)
Namun, pengusiran dan pemburuan tersebut tetap saja terjadi di tanah Batak
Dalam rangka menghalangi gerak pedagang Batak Islam yang sejak abad 15
telah eksis dan menjadi tulang punggung perekonomian tanah Batak,
khususnya dari marga Hutagalung, Hasibuan, Pasaribu dan Marpaung serta
marga-marga lainnya, Asisten Residen Fraser mengusulkan dibentuknya
koperasi antar sesama orang Batak yang tidak menentang kehadiran
penjajah saat itu, di samping menganjurkan agar peternakan babi
digalakkan di sana. Saran semacam ini pernah dikemukakan pula oleh
seorang tokoh Lembaga Bijbel pertengahan abad lalu, yang ditujukan
kepada propagandis Kristen di tanah Batak.
Dia adalah H.N. vander Tuuk tang pada tahun 1851 sampai tahun 1857
menetap di tanah Batak sebagai petugas dari Lembaga Bijbel. Ia
memberikan beberapa saran, bagaimana seharusnya petugas Kristen bersikap
di tanah Batak, yaitu:
1. Harus disebut Guru, bukan pendeta atau paderi; karena istilah pendeta kurang disukai, baik orang Eropa maupun orang Batak.
2. Harus kawin dengan wanita Eropa, karena pembicaraan antara wanita
lebih intim dan seorang wanita lebih berpengaruh daripada pendeta biasa.
3. Harus mendapat gaji yang baik, lebih tinggi dari gaji pegawai pemerintah.
4. Harus berpakaian seperti biasa, tidak memakai jas hitam pendeta.
5. Harus bisa menerima gaji dengan mudah, tanpa dipotong dua setengah persen.
6. Langsung masuk daerah Batak, tidak perlu lama-lama menunggu di Padang agar cepat bisa berbahasa Batak.
7. Harus tinggal jauh dari orang Eropa, karena mereka pada umumnya tidak akrab dengan pribumi.
8. Dalam taraf permulaan hanya omong-omong, Secepat mungkin mengajar
agar bisa cepat belajar bahasa pribumi. Hanya mengajar kalau diminta
oleh mereka.
9. Bersama murid-murid sekolah, harus membaca cerita Batak, baru kemudian membacakan Bijbel.
10. Harus bergaul akrab dengan orang Batak, tapi jangan meminjam uang.
11. Hendaknya tidak menerima hadiah, karena dia harus memberikan hadiah.
12. Hendaknya tidak menghina orang Islam, tapi harus menunjukkan orang kafir sama baiknya dengan orang Islam.
13. Andaikata mengetahui ilmu teknik, harus mengajarkan ilmu tersebut hanya kepada orang bukan Islam.
14. Sebagai peternak harus memelihara babi.
15. Andaikata mempunyai anak, harus hati-hati agar mereka tidak menghina pribumi.
16. Dalam pelaksanaan vaksinasi hendaknya jauh dari pengawasan pegawai.
17. Hendaknya tidak menggunakan pemadat sebagai pembantu atau murid.
18. Andaikata memiliki toko, dia tidak hanya akan mendapatkan banyak uang, tapi juga pengaruh yang cukup besar.
Sumber Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal Gedoopt, (Amsterdam, 1962) hal: 81-84.
Pada tahun 1919, pihak zending mengeluarkan brosur dalam dialek Angkola
berjudul Ulang Hamu Lilu (jangan sesat), untuk memperkenalkan Islam
secara negatif kepada orang Kristen Batak, berdasarkan buku-buku
Gottfried Simons yang biasa menentang Islam.
Gottfried Simons adalah seorang zendeling Jerman yang pernah bertugas di
Sumatera dari tahun 1896 sampai tahun 1907, dikirim oleh RMG
(Rheinische Mission Gesellschaft). Karyanya antara lain;
1. Islam und Christentum im kampf um die Eroberung der animimistischen
Heidenwelt, beobachtungen aus der Mohammedaner-Mission in
Biederlandisch-Indiesn, (Berlin 1910); (Islam dan Kristen dalam
Perjuangan di dunia Animis; Tinjauan zending terhadap orang Islam di
Hindia Belanda).
2. Unter den Muhammedanern Sumatras, (Berlin, 1926).
3. Reformbewegungen in Islam (Artikel)
Akibat brosur tersebut yang menurut Hazeu penuh dengan kebohongan dan
kepalsuan tersebut, timbullah kehebohan, sehingga untuk mengatasinya
brosur tersebut segera disita oleh kontrolir daru rumah zendeling
Jerman, Ameler, di Bungabondar.
Asisten Residen bermaksud memanggil pihak zending ke pengadilan, tapi
Jaksa Agung di Batavia melarangnya. Kemudian pusat Zending di Tarutung
meminta agar brosur yang disita itu dikembalikan secara resmi.
Pada tanggal 12 Juli 1919 brosur tersebut akan dikembalikan dan pihak
zending mengumumkan hal itu sebelumnya, meskipun sudah diminta untuk
merahasiakannya. Akibatnya timbul kehebohan sehingga zendeling Ameler
meminta agar kontrolir tidak jadi datang, karena sudah memancing
perhatian pelbagai organisasi beribadatan suluk di tanah Batak.
Brosur seharga f.0,15 per buah itu bisa laku f.2,-, (Lance Castle, Hal
110-112). Selama ini harapan demikian tinggi untuk bisa mengikis
pengaruh Islam dari tanah Batak dengan jalan mempercepat kristenisasi.
Harapan semacam ini didasarkan atas kepercayaan berlebihan tentang
superioritas Kristen atas Islam dan dugaan bahwa agama Islam yang
sinkretis di negeri ini (seperti parmalim dan agama kepercayaan Batak
yang mirip dengan Islam sedikit atau banyak) akan mudah dikristenkan.
Banyak orang Belanda terutama pada abad ke-19 yang berpengharapan
demikian (Lihat A. Retif, “Aspect Religiux de l’Indonesie”, dalam
Etudes, 1945, hal 371-381; Harry J. Benda, “The Crescent and the Rising
Sun”, op cit., hal. 19).
Dalam perjuangan kemerdekaan antara orang Batak dengan penjajah Belanda
di tanah Batak ini nampaklah kesan bahwa di satu pihak agama Islam
berkembang dengan segala kesederhanaannya, sedang di pihak lain agama
Kristen dengan segala kelebihannya ditunjang oleh para pejabat dan
pegawai kolonial pada umumnya. (Aqib Suminto; Politik Islam Hindia
Belanda, LP3ES).
Cepat berkembangnya Kristen di daerah ini jelas bukan semata-mata karena
“gereja-gereja di sana memiliki semangat missioner yang besar” seperti
pendapat Dr. F. Ukur yang menyatakan bahwa satu ciri gereja-gereja di
Sumatera adalah memiliki semangat missioner yang besar, sehingga dapat
berkembang cepat dalam waktu yang relatif singkat. Lihat: Walter Lempp,
Benih Yang Tumbuh, XII (Jakarta, 1976), hal. 110.
Dalam laporan tahunannya 1906/1907, Konsul Zending mengakui bahwa
pemerintah penjajahan Belanda sering mendukung aktivitas Kristen; bahkan
kadang-kadang pemerintah meminta kepada zending agar mereka membuka
cabangnya di suatu tempat, seperti di Simalungun tahun 1904 dan
Pakpaklanden tahun 1906, dua daerah yang sudah banyak menganut agama
Islam selain animisme. Lihat Laporan ke-25 Algemeene Nederlandse
Zendingsconferentie, 1911, Hal. 80, tentang “De prediking des zendelings
aan de Mohammedanen” atau lihat M.C.Jongeling, op cit., hal 110).
Agaknya memang perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala
simbiosis yag paling menunjang. Lihat: H. Kraemer, “De Zending en
Nederlands Indie”, dalam H. Baudet, & I.J. Brugmans, op.cit., hal
294.
Karena itu zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting dalam
proses penjajahan, walaupun tujuan zending hanya rohani. Semua yang
menguntungkan pihak Batak yang Islam di Hindia Belanda berarti merugikan
bagi kekuasaan moril pemerintahan penjajah Hindia Belanda. Lihat, Alb.
C. Kruyt, “De Inlandsche Staat en de Zending”, dalam Indisch
Genootschap, 23 Oktober 1906, hal 98).
Simbiosis ini nampak jelas di tanah Batak. Seorang Haji Batak asal
Pangaribuan dilaporkan datang ke Huta Lumban. Ketika enam orang Batak
pelebegu berkomunikasi dengannya dan menyatakan keinginannya masuk Islam
dan zending Muller tidak berhasil memurtadkannya kembali, Residen
Tapanuli memanggil keenam orang tersebut, tetapi mereka tetap tidak mau
keluar dari Islam meskipun diancam akan dibuang. Lihat Buku Harian
zendeling Muller di Toba, Juni 1916. Catatan buku harian tersebut
dikutip oleh Residen Tapanuli dalam suratnya kepada pimpinan tertinggi
penjajah Gubernur Jenderal tanggal 22 Juli 1916 No. 246 (Koleksi G.A.J
Hazeu, op cit)
Dilaporkan pula, adanya lima orang Batak Islam, yang menerima kesaksian
syahadat para Batak pelebegu, yang dihukum. Dikatakan, berdasarkan
beslit rahasia 3 Juni 1889 tersebut hal ini memang tidak bisa
dibenarkan. Sebuah beslit yang berusaha menghilangkan Islam sebagai
elemen anti-penjajahan dari tanah Batak.
Mereka dituduh telah menyebarkan agama Islam dan dihukum dengan hukuman
satu bulan, karena tidak menaati peraturan pemerintahan penjajah Hindia
Belanda. Lihat: Surat asisten Residen Bataklanden Fraser ke Residen
Tapanuli, 16 Juli 1916. Gubernur Jenderal lebih keras dengan
memerintahkan penghentian apa yang disebutnya propagandis Islam
tersebut.
Para petani Batak di Sipakpaki Sibolga ada yang dikenakan kerja paksa
sebulan, karena menerima syahadat Islamnya beberapa orang di Huta Husor.
Penduduk Huta Husor bernama Hurlang dikenai hukuman tiga bulan, karena
menyediakan rumahnya untuk acara tersebut. Lihat, Laporan penelitian
anggota Desan Penasehat Hindia Belanda tahun 1917. (Lihat Lance Castle,
op cit., hal 101).
Dalam menghadapi masalah sosial yang timbul, sikap para pejabat penjajah
Belanda nampak jelas memihak zending. Residen Tapanuli mengakui bahwa
sikap netral di bidang agama akan berakibat gagal totalnya zending di
daerah ini. Sebaliknya kemengangan kristen pasti terwujud, bila dibantu
sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda. (Lihat: Surat Residen
Tapanuli kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz tanggal 31 Maret 1909. Ia
menyatakan; Kita boleh memilih antara netral seratus persen terhadap
agama dengan hasil pasti menurut matematika bahwa pekerjaan zending akan
gagal total, dan lambat atau cepat seluruh daerah Batak akan masuk
Islam. Atau membantu sepenuhnya kepada zending untuk menghindari
propaganda Islam di daerah Batak. Dengan demikian kemenangan Kristen di
daerah ini pasti terwujud. Andaikata pemerintah bersikap netral, akan
berakibat seperti di daerah padang Sidempuan. Walaupun zending di sana
cukup rajin di antara penduduk yang waktu itu masih pelebegu namun Islam
ternyata menang di Mandailing, Angkola dan sebagian besar Sipirok.
Justru pegawai-pegawai kita memegang politik nonintervensi (Koleksi
G.A.J Hazeu, op. cit,. Hal 102).
Gubernur Jenderal kemudian memerintahkan agar pegawai pemerintah
penjajah Belanda, kapanpun dan dimanapun tidak memihak penduduk muslim;
sebaliknya secara moril harus membantu dan mendukung zending. Sementara
itu, peraturan rahasia itu ditambah lagi dengan satu artikel yang
berbunyi; “Orang Kristren (yakni pribumi sebagai objek yang dijajah)
tidak harus melakukan kerja paksa pada hari Minggu.” Lihat: M.C.
Jongeling, op cit., hal 114-115.
1907
Pasukan Sisingamangaraja XII bersama panglima dan pengawal pribadinya
dari Aceh terkepung di hutan belantara Dairi. Pertempuran berlangsung
sangat sengit. Dalam upaya menolong putrinya yang terluka,
Sisingamangaraja XII, gelar Patuan Bosar, Ompu Raja Pulo Batu, tewas
diberondong Belanda. Jenazahnya dicincang dan dibuang begitu saja di
hutan agar tidak dilihat oleh warga Batak yang pasti akan menimbulkan
kemarahan besar. Menurut sumber lain, Jenazahnya dikuburkan di Balige
atau Parlilitan. Masih perlu didebatkan. Keturunan S.M. Raja yang masih
hidup ditawan dan dijauhkan dari masyarakat untuk tidak memancing
pertalian emosi dengan warga Batak. Mereka di tawan dan dibuang ke
sebuah Biara terpencil. Di sana mereka mati satu per satu. Menurut
cerita lain, sebelum mati mereka sudah dipabtis.
1912
Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap
pendidikan, walau paska kebijakan balas budi, kemudian bangkit
mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi
pertama di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis.
Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas
perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid
dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al
Azhar.
Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan
perguruan-perguruan lain di berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang
Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba Isumbaon mendirikan
Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan
perguruan lain di Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan
merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.
HKBP sendiri pernah menjadi gereja protestan terbesar di Asia. Para
turunannya mendirikan gereja Angkola, Karo dan Dairi di berbagai tempat
di Indonesia. Demikian pula di Kesultanan Langkat, para keturunan
Jatengger Siregar gelar Tuanku Ali Sakti mendirikan ‘Lilbanaad College’.
1923
Arsip Bakkara diamankan pendeta Pilgram.
1923
Kebangkitan politik orang-orang Mandailing. Sebuah komisi yang dinamakan
Majlis Syariah (Commissie van Advies) dibentuk untuk memecahkan
masalah-masalah berdasarkan hukum Islam. Masalah-masalah tersebut bahkan
dibawa ke Diwan Raiat yang dikenal dengan nama Volksraad. Satu
institusi lainnya adalah Comite Kebangsaan Mandailing.
1928
Jong Batak merupakan elemen sumpah pemuda. Orang-orang Batak tanpa beda
wilayah, marga dan agama bersatu mengusir Belanda dan Jepang yang datang
kemudian.
Pada tahun 1928, di tanah Batak selatan mulai memodernisasi sistem
pendidikan oleh para sarjana Batak yang belajar dari berbagai
universitas di luar negeri. Di antaranya Maktab Ihsaniyah di Hutapungkut
Kotanopan oleh Muhammad Ali bin Syeikh Basyir. Maktab merupakan
transformasi partungkoan, sebuah sistem pendidikan tradisional Batak
yang berubah menjadi sikola arab dan madrasah di era berikutnya. (lihat:
Pesantren Musthofawiyah Purba Baru Mandailing, Dr. H. Abbas Pulungan,
Cita Pustaka Media Bandung, 2004).
Para lulusan Maktab Islamiyah Tapanuli mendirikan “Debating Club” pada
tahun 1928. Dua tahun kemudian anggota “Debating Club” ikut serta dalam
mendirikan Jamiatul Washliyah sebuah organisasi pendidikan dan sosial di
Sumatera Utara.
Diniyah School didirikan di Botung Kotanopan tahun 1928 oleh sarjana
Batak lainnya, Haji Fakhruddin Arif. Berikutnya berdiri Madrasah
Islamiyah di Manambin Kotanopan tahun 1928 oleh Tuan Guru Hasanuddin.
1929
Madrasah Subulussalam berdiri di Sayur Maincat Kotanopan pada tahun 1929
oleh Haji Muhammad Ilyas. Berikutnya Madrasah Syariful Majalis di
Singengu Kotanopan pada tahun 1929 oleh Haji Nurdin Umar. Di Hutanamale,
Maga, Kotanopan Syeikh Juneid Thala mendirikan sebuah Madrasah
Islamiyah pada tahun yang sama.
1930
Orang-orang Batak mendirikan Jamiatul Washliyah pada tanggal 30 November
1930. Sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan agama dalam
arti yang luas. Organisasi ini memakai mazhab syafii.
Nama Jamiatul Washliyah berarti perkumpulan yang hendak menghubungkan.
Menurut Muhammad Junus, tokoh paling penting dalam organisasi ini, nama
Jamiatul Washliyah dihubungkan dengan keinginnan untuk menghubungkan
manusia dengan Tuhannya, menghubungkan antar sesame manusia,
menghubungkan suku dengan suku antara bangsa dengan bangsa dan lain
sebagainya. Lihat “Peringatan Al Djamiatul Washliyah 1/4 abad” hal
41-42; Nukman Sulaiman dalam Al Washliyah I, hal. 5.
Tiga tokoh penting dalam organisasi Al Washliyah adalah Abdurrahman
Syihab, seorang organisatoris yang dapat menghimpun khalayak ramai, Udin
Syamsuddin, seorang yang ahli administrasi dan Arsyad Thalib Lubis,
mufti organisasi.
1933
Pembentukan komisi yang bertugas mengadakan inspeksi ke sekolah-sekolah
Alwashliyah untuk standarisasi mutu. Didirikan juga sebuah lembaga
pendidikan yang besar di Tapanuli Selatan.
1934
Penyusunan peraturan yang mengatur hubungan antar sekolah di Alwashliyah
1935
Pada tahun ini Madrasah Mardiyatul Islamiyah didirikan di Penyabungan
oleh Syeikh Ja’far Abdul Qadir. Sebelumnya, sejak tahun 1929, madrasah
ini dikenal dengan nama madrasah mesjid karena kegiatan pendidikannya
dilakukan di sekitar sebuah mesjid sebelum dimodifikasi menjadi sistem
madrasah.
1936
Orang-orang Batak mendirikan Fond atau Yayasan untuk mengirimkan beberapa generasinya, khususnya yang di Alwashliyah, ke Mesir
1937
Jamiatul Washliyah memberikan perhatian khusus pada pemahaman Islam
khusunya mereka yang belum beragama. Di Porsea didirikan HIS untuk
mereka yang membutuhkan pendidikan. Melalui lembaga “Zending Islam”
perkumpulan ini berinisiatif untuk berdakwah ke seluruh Indonesia.
1940
Modernisasi pendidikan Islam Batak, khususnya yang di Alwashliyah dengan
menyusun peraturan pusat untuk mengadakan ujian dan pemberian ijazah
yang dikeluarkan kantor pusat di medan.
1945
Tanah Batak merupakan bagian dari Indonesia merdeka